MELEWATI BATAS

1.5K 139 13
                                    


Air mata sudah terlanjur berderai, tamparan sudah kadung menyakiti pipi dan segala perkataan telah menyakiti hati keduanya. Di jalan yang panjang mereka akhirnya berjalan terpisah dengan saling mengambil arah yang berbeda. Tanpa menoleh lagi. Tanpa peduli lagi. Mereka berniat pergi ke tempat berbeda dengan membawa sakitnya masing-masing.

Jarak semakin luas terbentang di antara punggung-punggung mereka yang berjalan saling membelakangi. Langkah mereka semakin tegas seolah tanpa ragu saling meninggalkan. Perpisahan yang menyedihkan. Kemeja seragam mereka yang tertiup angin melambai-lambai mewakili tangan-tangan mereka yang enggan melambai untuk perpisahan mereka.

"Cukup. Jangan ada lagi. Berhenti peduli" Batin keduanya kompak menyuarakan hal sama yaitu kata "cukup". Mereka merasa semuanya yang terjadi sudah cukup. Rasa suka dan duka karena pernah menjadi sahabat rasanya sudah cukup. Jangan saling peduli lagi. Jangan saling menyakiti lagi. Mereka saling takut. Takut menyakiti lebih dari ini. Untuk itu mereka menginginkan kata "sudah". Dan sekarang mereka berdua sedang mewujudkan keinginan mereka. Yaitu mengakhiri segalanya.

Setelah Langkah yang sudah sangat jauh, keduanya akhirnya sama-sama saling menoleh kebelakang. Mendapati sudah tak saling melihat. Mendapati jarak yang terbentang jauh antara keduanya. Dan akhirnya saling menyadari satu hal bahwa jarak inilah yang seharusnya sejak dulu dipertahankan. Harusnya sejak dulu tidak ada yang melewati batas untuk mendekat. Tidak dengan Milang yang lebih dulu peduli. Tidak dengan Eksa juga yang memaksa untuk berteman dengan Milang.

Segala hal buruk ini mungkin hukuman bagi keduanya karena telah melewati jarak yang seharusnya tidak dilampaui keduanya. Yang mereka seberangi akhirnya melukai keduanya. Dan tidak ada cara lain untuk menghentikan hal buruk ini kecuali dengan kembali ke tempat masing-masing. Mengembalikan Jarak yang seharusnya terbentang. Tak terputus. Tak terkurang. Biarkan panjang. Biarkan jauh. Asalkan jangan saling tersakiti dan menyakiti.

Dengan jarak yang sekarang, yang mereka anggap benar. Mereka berjanji pada diri mereka masing-masing bahwa mereka tidak akan lagi melewati jarak itu lagi. Mereka berjanji akan mempertahankan jarak yang mereka lihat saat ini. Tidak saling melihat. Tidak saling menyapa. Tidak saling peduli. Dan mungkin tidak saling mengenal lagi. Jauh.

***

Angga Jengah, tangannya mengepal dan tertahan beberapa CentiMeter didepan wajah Milang. "Goblog...serah deh lo mau apa" ujar Angga. Berbicara pelan tapi sarat akan emosi. Ia perlahan turunkan tangannya. Perlahan berjalan mundur dengan goyah. Dan perlahan berbalik arah dan berjalan menjauh dari Milang.

"selesaaaaaiiii" sambil berjalan Angga berteriak keras. Dengan gayanya yang frustasi. Dengan nadanya yang arogan. Ia meneriakan sesuatu yang singkat tapi cukup jelas untuk dimengerti oleh Milang. Bahwa semuanya berakhir.

Lagi-lagi Milang menarik diri dari dekat dan menuju tempat bernama jauh. Seolah tidak cukup telah kehilangan Eksa, Milang membuat keputusan yang akhirnya membuatnya juga akan kehilangan sosok Angga sebagai sahabat terbaiknya. Dan keputusan itu adalah keinginannya untuk tetap maju dalam pertarungan yang kurang dar 24 jam lagi itu. sedangkan Angga, Angga menyuruhnya untuk mundur dari pertarungan ilegal itu. Sebab Angga akhirnya tau kebenaran omongan Eksa. Bahwa Agam telah mencurangi mereka dengan menyembunyikan peraturan pertarungan.

"lo masih nggak percaya Lang?" Ujar Angga dalam perdebatan yang panas dengan Milang tadi

"Gua percaya"jawab Milang.

"Terus kenapa lo masih ngotot maju?"

"karena gua udah nggak sabar mau bunuh Agam besok dengan tangan gua sendiri" ngotot Milang dengan wajah merah dipenuhi amarah dan emosi.

"kalau lo yang mati gimana goblog?" balas Angga tak kalah emosi

"gua juga nggak sabar untuk yang satu itu"jawab Milang yang seketika membuat Angga sampai-sampai menarik kerah baju Milang dan mengangkat tangannya sampai tepat di wajah Milang. Tinjunya tertahan disana.

"Goblog...serah deh lo mau apa" dan kalimat ini mengakhiri perdebatan mereka.

Melihat punggung sahabatnya yang dengan cepat menjauh dari pandangannya itu, ia pun sadar bahwa Milang belum pernah berjarak seperti ini dengan Angga. Dan melihat itu membuat Milang merasa putus asa. Ia tidak bermaksud mengakhiri persahabatannya dengan Angga. Tapi keputusannya sudah bulat untuk menghajar orang yang telah membuat kehidupannya bertambah bobrok. Dia sudah putuskan bahwa besok dia harus menghajar atau di hajar. Dia harus menghajar Agam karena Agam pantas di hajar atas segala kelakuannya. Dan dirinya sendiri juga pantas di hajar sampai mati karena telah menggunakan tangannya sendiri untuk menampar seseorang yang selama ini justru ia lindungi.

Milang menatap tangannya sendiri dengan penuh sesal. Segala yang ia putuskan dengan Eksa termasuk mengakhiri pertemanan ataupun persahabatan tidak ada yang ia sesali. Kecuali tamparan itu. Gambaran bagaimana ia menampar wajah lembut itu sekarang bagaikan cambuk yang berulang-ulang berayun keras didadanya. Menyiksanya dalam bentuk penyesalan. Dan hukuman mati sekalipun tidak mungkin bisa menebus rasa sesal itu dari perasaannya.

Semua sudah terjadi. Dan tidak dapat diputar ulang. Bagi Milang tidak ada cara lain kecuali maju. Tidak ada Eksa, tidak ada Angga dan tidak ada Benggala. Semua sudah selesai. Dia tidak menemukan hal lain yang bisa ia lakukan kecuali menghadapi pertarungan itu. seperti pelampiasan. Bertarung dengan Agam adalah ide yang menurutnya cukup lumayan untuk dijadikan pelampiasan.

"Pernahkah kamu ingin berteriak tapi tak terdengar suaranya ?" suara seseorang membuat Milang tersentak dari kesunyiannya setelah di tinggalkan Angga.

"Bukankah sekarang kamu ingin teriak karena telah salah dalam segala hal ?"

Milang menoleh ke arah sumber suara yang semakin mendekat kepadanya. Milang terdiam tak menyauti pertanyaan-pertanyaan orang yang tidak lain adalah Evi.

"gue tau lo itu bodoh otaknya, jadi pertanyaan gue tadi pasti sulit untuk lo jawab, tapi lo bukan Cuma bodoh Lang. Tapi juga pengecut"

"Maksud lo apa ?" Milang langsung emosi ketika kata-kata pengecut itu keluar dari mulut Evi.

"lo nggak mau mengakui kesalahan. Lo tetep ngotot maju karena lo ngga mau mengakui kesalahan lo dan mengakui kalau Eksa bener kan? Itu pengecut namanya"

"nggak usah sok tau"

"sadar Lang. Lo itu berjalan di tempat yang salah sekarang. akui kesalahan lo. Mundur dari pertarungan itu. gue sempet respect dan peduli sama lo. Tapi setelah tau lo Cuma segini aja. Gue nyesel pernah bantuin Eksa supaya lo baik-baik aja. So kalo besok lo mati atau kenapa-kenapa gue dengan tenang anggap itu sebagai balasan karena lo udah nyakitin sahabat gue"

"Looo"

"Apaaa? Mau tampar gue juga ?"

"lo emang manusia paling Hina yang pernah gue tau Lang, demi sebuah gengsi di kaum lo, lo tega nyakitin seorang cewek yang amat sangat pedulinya dan sayang banget sama lo"

"Dieeem kalau lo nggak tau soal apapun" ujar Milang menahan segala emosinya. Ia pun tidak punya pilihan lain selain pergi meninggalkan Evi yang raut mukanya sangat marah ke Milang. Evi memang benar. Dirinya salah karena menampar Eksa. Tapi itu tidak sepenuhnya. Andaikan Eksa tidak pernah menyinggung soal kakaknya mungkin hal itu tidak akan terjadi. Milang tidak akan menjadi Iblis kalau Eksa tidak mengundang Iblis dalam dirinya untuk bangkit.

"terseraaaah" Milang memekik keras dalam frustasinya.


To be continued...............

KELAS FTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang