Menjemput Maut

1.5K 149 6
                                    


Hingga hari itu pun tiba. Sebelum pergi ketempat pertandingan, Milang menyempatkan untuk melihat kakaknya. Telah lama ia tidak melihat kakaknya. Sibuk latihan bahkan jarang pulang kerumah membuat Milang tak bisa melihat kakaknya. Tapi lebih karena itu, Milang memang belum siap lagi bertemu dengan kakaknya. Karena Milang belum bisa menjadi sosok adik yang diinginkan Niko. Andai Kakaknya itu tau Milang akan berangkat ke tempat yang berbahaya Niko pasti akan melarangnya.

Sesampainya di depan kamar kakaknya Milang mencoba membuka pintu dengan pelan agar kakaknya tidak mendengar ia membuka pintu kamarnya. Dan didepan pintu yang sudah setengah terbuka Milang terkejut melihat kakaknya itu tengah terbatuk-terbatuk. Batuk hebat yang membuat Niko sampai terjatuh dari tempat tidurnya dan membuat lukisan yang ada disamping tempat tidur berjatuhan berantakan.

Milang sontak ingin berlari menolong kakaknya itu. Tapi baru selangkah berjalan melewati Pintu, Milang memilih mengurungkan niatnya. Ia terhenti. Milang mundur kembali. Lalu perlahan keluar meninggalkan kamar kakaknya dan menutup kembali pintu kamar. Dibalik pintu yang telah tertutup, Milang meremas dadanya sendiri sambil memejamkan rapat matanya. Merasakan sesak yang tak tertahan ketika melihat kakaknya kesakitan.

"biarkan adikmu sekali ini menjadi iblis sesungguhnya bang, tetaplah bertahan hidup sampai nanti. Milang bakal datang setelah ini. Tapi sekarang Milang benar-benar nggak bisa jadi orang baik seperti yang abang mau. Setelah ini... Milang janji setelah ini Milang bakal datang sebagai Milang yang abang mau" lirihnya di depan pintu kamar kakaknya pelan.

Dengan perkataan yang ia ucapkan di depan pintu kamar kakaknya itu Milang akhirnya berangkat. Seakan perkataan itu adalah doa. Dia berharap dia akan bisa datang lagi kepada kakaknya dan tidak mati ditangan Agam.

Sepeda Motor kesayangan sudah terparkir di depan rumahnya. Siap melaju. Siap membunuh jarak dijalanan untuk sampai ditempat dan waktu yang telah di tentukan oleh Agam. Dan tanpa pikir panjang lagi Milang langsung menyalakan mesin motornya. Dan setelahnya roda-roda motornya itupun berputar melindas jalanan sore itu.

Entah apa yang akan ditujunya sore ini. Entah untuk menjemput maut, dijemput maut atau entah menjemput kemenangan atau yang lainnya. Pikirannya sudah kosong karena ia perlahan mengeluarkan orang-orang yang selama ini ia pikirkan. Terlalu menyakitkan, terlalu pilu menempatkan orang-orang yang sekarang di batasi Jarak itu di dalam pikirannya. Untuk itu lari ke pertarungan adalah satu-satunya hal yang Milang temukan untuk menggeser orang-orang itu dalam pikirannya. Dan sekarang dalam pikiranya hanya terfokus satu hal yakni bertarung.

***

Tidak biasanya rumah Eksa seramai ini. Gelak tawa juga sesekali mewarnai keramaian sore itu. Seperti telah lupa bagaimana tangisannya sore kemarin. Sore ini Eksa bisa membalas guyonan Iqbal dengan tawa-tawanya. Dan yang berbeda dari sore ini dirumah Eksa adalah kehadiran dua sosok yang sebelumnya tidak ada dirumah itu. Dua orang yang sosoknya dirindukan Iqbal dan Eksa.

Kemarin siang orang tua Eksa sampai di Indonesia. Setelah bertahun-tahun meninggalkan anak-anaknya orang tua itu akhirnya kembali pada anak mereka. Ketika Eksa sampai di rumah dan mendapati kedua orang tuanya duduk diruang tamu seketika sisa-sisa tangis yang sebelumnya ada karena Milang kembali terisak ketika melihat ibu dan ayahnya ada di depan matanya. Begitu juga Iqbal. Sebagai lelaki dia bahkan tak dapat menahan suara tangis kerasnya ketika mendapati orang-orang yang dirindukan selama bertahun-tahun itu dapat dipeluknya secara nyata.

Dan sore ini mereka menghabiskan waktu dengan bercanda dan melepas rindu di ruang tengah.

"Jadi Eksa gimana sekolahnya juara terus kan?"

"Dulu masuk kelas unggulan Bu, sekarang udah di depak dikelas paling buruk predikatnya, hahaha" belum sempat Eksa jawab, Iqbal sudah tidak tahan untuk menggoda adiknya itu.

KELAS FTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang