05 🔰 D

954 61 1
                                    

"iya Wirat, ini aku lagi makan sama Linda!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"iya Wirat, ini aku lagi makan sama Linda!"

"Jangan makan sama Aldo ya!

"Kok gitu?"

"Ya pokoknya jangan. Aku gak suka!"

"Wirat kok sekarang kamu jadi nyebelin sih!" Suara lantang gue sontak membuat Linda yang sedang makan bakso mengernyit heran. Tidak biasanya gue berbicara seperti itu dan hal itu cukup membuat kerutan di dahi Linda berlipat sampai dua tingkat.

"Lo kenapa deh teriak-teriak teriak?" Tanya Linda masih dengan tatapan herannya.

Gue menjauhkan ponsel gue lalu berkata, "Biasalah Wirat."

Linda hanya mengangguk cuek dan melanjutkan kembali aktivitasnya yang tertunda.

"Kamu marah ya?"

"Enggak. Aku gak marah. Tapi dengar ya dalam hubungan itu harus saling percaya. Kalau kamu sendiri gak percaya sama pasangan kamu, gimana kamu mau menjalani kehidupan selanjutnya? Kasihan pasangan kamu Athan."

Athan diam. Dan gue udah gak perduli lagi. Memang sih ucapan nyokap tadi bagi itu bener karena mungkin Athan hanya takut kehilangan gue. Tapi kalau dia percaya bahwa gue hanya mencintai dia seorang hal ini mungkin akan menjadi lebih mudah bagi dia. Dia gak akan mungkin bersikap kekanak-kanakan seperti ini.

Bener gak sih gue?

Dan suara panggilan terputus berhasil menyadarkan lamunan gue. Gue berdecak. Menaruh kembali ponsel gue di saku rok seragam. Masa bodoh dengan Athan.

"Lo marahan lagi sama Athan?"

Gue mengangguk.

"Ya udah putus aja sih. Repot amat!"

Gue menatap Linda dengan sorot tajam. Sialan bener ini anak. Kalau ngomong emang suka ngejeplak.

"Mulut lo minta disirem bensin ya?" Kata gue ketus. Linda itu memang seperti itu. Dan gue kadang suka sebel sama dia.

Linda tertawa kecil, "Athan kan suka gitu over lebay. Jadi ya udah sih ya. Lo iya iyain aja ucapannya. Lagian nih kalaupun lo sekarang lagi sama Aldo dia gak bakalan tahu keles!"

"Lo kok tahu masalah gue? Padahal gue belum cerita apa-apa sama lo!"

"Gue kan sahabat lo. Jelas gue tahu lah. Masalah lama itu mah. Masalahnya tuh gak bakalan selesai kalau Aldo gak menjauh dari lo sejauh-jauhnya atau kalau enggak lo putus sama Athan. Sesimpel itu menurut gue."

Setelah Linda berkata seperti itu gue terdiam cukup lama. Rasanya hati gue benar-benar hampa. Dan gue gak tahu kenapa. Apakah gue harus menjauhi Aldo? Apakah gue harus putus dengan Athan?

Kedua hal itu sangat mustahil bagi gue. Ya sangat mustahil karena gue gak bisa untuk kehilangan keduanya. Mereka sangat berarti bagi gue selayaknya oksigen yang setiap hari gue hirup. Tanpa Aldo gue akan merasa seperti kehilangan pendamping hidup gue karena Aldo itu selalu setia berada di sisih gue bagaimanapun keadaan gue. Dia selalu mengerti akan gue apapun yang terjadi dengan gue.

Sedangan Athan. Kalau gue kehilangan dia mungkin gue gak akan sebahagia hari hari lalu karena Athan adalah salah satu sumber kebahagiaan gue walaupun kadang Athan gak tahu kalau pada waktu itu gue lagi sedih, gue lagi berduka. Athan memang gak peka, dan kadang gak kepekaannya itu membuat gue lebih untuk memilih berlari kepada Aldo sebagai tempat sandaran gue.

Cukup lama gue terdiam hingga telinga gue mendengar suara bola basket beradu dengan lantai yang keras. Suara itu cukup membuyarkan lamunan gue. Dan anehnya hanya suara itu yang hanya gue dengar. Bahkan suara Linda yang ada di hadapan gue sama sekali gak tertangkap oleh pendengaran gue karena pendengaran gue hanya fokus untuk mendengar suara bola berwarna oranye itu.

Dunia menjadi hening dan berhenti seketika. Layaknya pendengaran gue, netra gue pun hanya terfokus pada laki laki yang saat ini sedang mendribble bola basket yang sekarang berada tepat di tengah-tengah lapangan dengan seorang diri tidak ada teman atau sahabat yang biasa menemani laki- laki itu. Pemandangan indah itu terlihat jelas di mata gue karena posisi lapangan basket tepat berada di depan kantin walaupun jaraknya cukup jauh untuk gue lihat.

Angin berhembus pelan membuat rambut laki-laki itu bergerak sedikit. Keringatnya mulai bercucuran melewati dahinya yang berkulit kuning langsat. Tangannya yang kokoh masih terus mendribble bola basket hingga saat ia hampir mencapai ring, dengan cekatan ia melompat dan melemparkan bolanya. Bola itu sukses masuk ke dalam ring tanpa cacat. Dan entah kenapa dengan bodohnya gue merasa bahwa bola itu juga sukses memasuki hati gue mulus tanpa hambatan apapun.

Tiba-tiba saja gue gelisah. Degup jantung gue terus saja berdetak liar seiringan dengan bola yang terus memantul tak beraturan pada lantai karena laki-laki itu hanya membiarkannya.

Anjir! Gue kenapa sih?

Bola terus memantul semakin lemah dan sebentar lagi mungkin akan menggelinding di atas lantai. Namun sebelum bola itu menggelinding jauh meninggalkan laki-laki itu, bola itu sudah terlebih dahulu berada di genggamannya kemudian ia kembali mendribelnya.

Laki- laki itu masih mendribel bola basket nya dengan posisi membelakangi gue karena gue tidak bisa melihat bola oranye itu memantul dengan sempurna. Gue sedikit kesal, entah karena alasan apa.

Namun saat laki- laki itu berbalik, gue yakin sebentar lagi gue akan pingsan karena sorot mata tajam itu langsung menghunus ke dalam netra gue hingga merambat ke dalam jantung gue dan mengobrak-abrik yang ada di dalamnya.

Sial. Buang pandangan lo ke arah lain Adinaya! Cepat! Sebelum lo mati dan tak terselamatkan!

Sebentar lagi Nenek lo bakal njemput lo di bandara menuju surga dan lo bakal abadi di sana.

Leher gue kaku ya Allah. Jangan paksa gue kenapa sih?

Batin gue mulai berteriak gila, namun gue sama gilanya karena entah kenapa gue sama sekali tidak bisa untuk mengalihkan tatapan gue dari laki-laki itu. Laki- itu berlari sambil mendribble bola basket dengan frekuensi yang semakin cepat seirama dengan detak jantung gue yang semakin menggila karenanya.

Hingga ia tepat berada di depan ring, laki-laki itu kembali memasukkan bolanya mulus tanpa cacat.

Lagi dan lagi gue merasa bukan ring bola basket yang ia bobol dengan mulus, namun entah kenapa gue merasa hati gue yang sejak tadi ia bobol tanpa harus menggunakan kunci yang sekarang sedang di bawa oleh laki- laki lain.

Seakan mengerti kekalahan hati gue, laki- laki dengan nama Aldo itu tersenyum manis ke arah gue hingga menampilkan lesung pipi nya yang baru dua kali ini gue lihat dalam seumur hidup gue.

"Besok kalau ngantin lagi jangan duduk di sini ya Lin."

"Kenapa?"

"Meja ini tuh menghadap ke neraka. Sejak tadi gue kepanasan. Wajah gue bentar lagi mau kebakar rasanya!"

"Hah maksud lo?"

Long Distance RelationShit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang