5. Kecemburuan

1K 56 0
                                    

Hari ini aku di tolak seorang wanita yang begitu ku idamkan selama ini. Dia adalah satu-satunya wanita yang membuatku bangkit dari keterpurukan. Dia gadis kaya yang tak mungkin ku miliki saat dulu waktu keadaan keuanganku belum membaik. Tetapi setelah sukses pun aku masih tetap tidak bisa memilikinya. Dia bilang mencintai seorang pria dan aku tanya apakah dia tidak melihatku selama ini?  Dan dia menjawab, dia menyukaiku tetapi bukan untuk seorang pria tetapi untuk seorang teman.

Saat memutuskan untuk pulang aku melihat sahabatku Anindya di antarkan pulang oleh seorang laki-laki yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Inikah yang membuatnya cepat pulang meski sedang bersamaku?  Aku tidak pernah melihatnya berjalan dengan pria manapun sebelumnya. Aku merasakan sesak saat melihatnya. Aku merasa dunianya kini terbagi dengan pria lain. Dunia yang dahulu hanya milikku, milik kita.

Aku mendekatinya ingin menceritakan semuanya, tetapi dia selalu tahu segalanya. Dia tahu jika aku sudah di tolak, dia menghiburku seperti menghibur seorang anak kecil. Dia membelikanku es cream rasa strawberry kesukaanku. Untuk pertama kalinya aku menolaknya, aku memilih rasa coklat kesukaannya dengan alasan strawberry mengingatkan aku pada wanita itu. Aku bilang padanya akan berusaha menyukai apa yang dia suka.

Malam ini adalah malam pertama kali kami bertengkar. Aku bilang padanya tidak menyukainya. Tetapi aku tidak berniat berbicara seperti itu. Aku hanya ingin dia tidak perlu mengurusiku yang sibuk dengan pekerjaanku. Dia sudah seperti ibu-ibu yang terus mengomeliku ketika ku bilang aku akan kembali ke tempat kerjaku.

Dia benar-benar terlihat sangat marah dengan mengatakan bahwa dia juga tidak menyukaiku, bahkan meski hanya ada aku laki-laki di dunia ini dia tidak akan mau memilihku. Perkataanku menyakitinya sampai dia menangis dan aku pergi meninggalkannya begitu saja. Ini salahku, aku tidak bisa mengontrol emosiku. Aku melampiaskannya pada seseorang yang selama ini terus berada di sampingku.

*****

Hari ini aku memasuki kelas dimana Anindya berada di kelas itu. Aku mengajar seperti biasa dan aku melihat Anindya tidak menatapku seperti biasanya. Dia hanya sibuk dengan buku catatannya. Setidaknya dia mendengarkan apa yang aku jelaskan, aku berjalan mengelilingi ruangan kelas sambil menerangkan mata pelajaran, hingga akhirnya aku berada di belakang Anindya. Mataku tertuju pada sebuah kertas yang di tulisnya, tunggu ku kira dia menulis apa yang sedang aku terangkan tetapi ternyata dia sedang menggambar wajahku dengan mata yang besar dan kedua taring seperti sedang ingin memangsa. Aku mengambil dan merobeknya. Dia menatapku tajam. Tanpa berpikir panjang aku melemparkan sobekan kertas itu ke lantai dan menginjaknya.

"Hormati Dosenmu yang sedang mengajar. " ucapku.

"Aku menghormati Dosenku. " ucapnya datar.

"Lalu, apa yang kamu lakukan? " tanyaku sinis dan melangkahkan kakiku ke depan kelas.

"Aku hanya sedang menggambar apa yang aku lihat. " ucapnya.

"Apa yang kamu lihat? "

"Seorang pria baik, tetapi buas dan tak berperasaan. " ucapnya.

"Maksudmu aku? " tanyaku membuat kelas hening.

"Memangnya bapak merasa begitu?! " ucapnya menggeleng kepala.

Seluruh mahasiswa menatapku dengan tanda tanya. Bisa-bisanya aku mempersoalkan hal sepele di dalam kelas.

"Jam istirahat nanti kamu ke ruangan saya. " ucapku pada Anindya.

*****

"Ada apa ya pak, saya sampai di panggil kesini? " ucap Anindya duduk di depanku.

"Aku tidak suka terhadap siswa yang tidak menghormati Dosennya saat mengajar. " jawabku.

"Sepertinya maksud bapak bukan seperti itu. Jika ini karena masalah pribadi sebaiknya tidak perlu di persoalkan lebih jauh, jangan buat saya muak. " ucapnya berdiri dari tempat duduk.

"Ya, kamu benar ini adalah masalah pribadi. Jadi siapa pria semalam itu? " tanyaku membuatnya tersenyum.

"Apa hubungannya denganmu? Jika dia pacarku memang kenapa? "

"Kamu tidak boleh dengannya. "

"Mengapa? "

"Ku bilang tidak, ya tidak Anindya.! " ucapku meninggikan suara.

"Hahaaa kamu lucu sekali. Kenapa kamu cemburu? " ucapnya membuatku terhenti berbicara.

Memangnya siapa aku ini melarangnya pacaran dengan pria itu? Apa hakku?

"Pergilah dengan siapapun yang kamu sukai. " ucapku menyuruhnya keluar dari ruanganku.

Aku benar-benar pria bodoh. Mengapa aku sampai membesarkan masalah semalam, memangnya aku siapa Anindya sampai melarangnya tidak pacaran dengan pria itu. Dia mungkin saat ini merasa jijik padaku. Aku pria yang lebih dewasa darinya tetapi tidak bisa bersikap dewasa. Aku sudah kehilangan harapanku pada gadis yang sejak lama ku idamkan, akankah aku juga kehilangan wanita yang sudah menjadi sahabatnya sejak dulu?

*****

Aku dan Anindya sudah tidak saling menyapa lama sekali. Tiga bulan sudah berlalu, akupun tidak punya niat untuk menyapanya terlebih dahulu. Aku semakin sering melihatnya berjalan dengan pria lain, entah itu pria yang waktu itu mengantarkannya pulang atau pria-pria yang menyukainya di kampus. Anindya memang populer, selain dia cantik dan baik dia juga pintar, maka tidak heran jika banyak pria yang jatuh hati padanya.

Aku mencoba melupakannya, melupakan persahabatan yang telah lama kami bangun.

"Eh nak Riki, sudah pulang. Sudah makan? " tanya tante Rahma ibunya Anindya saat aku berpapasan dengannya.

"Sudah tante. " ucapku tersenyum.

"Hari ini Anindya ulangtahun, kamu tidak menemuinya? "

"Oh iya, nanti aku akan menemuinya ko tante. ".

"Syukurlah, tante kira kalian berantem soalnya tante tidak pernah lihat kalian jalan seperti biasanya akhir-akhir ini. "

"Enggak kok tante. "

"Maaf ya, kalo Anindya merepotkan kamu selama ini. Tante cuma percaya sama kamu, cuma kamu yang bisa melindungi anak tante dengan baik. " ucap Tante Rahma menepuk bahuku lembut.

Aku hanya tersenyum memandanginya. Sulit rasanya jika aku mengatakan yang sebenarnya pada Tante Rahma. Sebuah masalah sepele telah membuat kami tidak saling menyapa seperti biasanya.

Semester pertama berakhir. Aku di pindah tugaskan sehingga tidak mengajar lagi di kampus itu. Aku dan Anindya jadi tidak pernah bertemu apalagi berpapasan dengannya. Aku bahkan tidak melihatnya keluar rumah di akhir pekan.

"Tante, Anindya kemana? " tanyaku pada Tante Rahma.

"Loh memangnya dia tidak memberi tahu ya, Anindya memaksa pindah kuliah ke luar negeri. " ucap Tante Rahman membuatku kaget.

"Apa?!  Ta.. Tapi kenapa? " ucapku terbata-bata.

"Tante juga tidak mengerti tapi dia menangis pada ayahnya untuk di pindahkan kuliah. " ucapnya.

"Terimakasih Tante. " ucapku.

Seperti petir di siang bolong, aku mendengar Anindya pergi dari negeri ini. Apa karna aku dia memutuskan untuk pergi? Sebenci itukah dia padaku?

*****

Waktu terus berlalu aku terus menyibukan diriku di kampus maupun beberapa usahaku. Umurku semakin bertambah tetapi aku belum menemukan seorang gadis pun yang bisa aku nikahi. Hatiku masih begitu resah mengingat semuanya. Apalagi jika ingat gadis yang sedari kecil bersamaku. Kini telah hilang tanpa kabar sedikitpun. Aku menyesal, aku rindu.

*****

Cinta Dalam Do'a  ANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang