7. Resah

861 37 0
                                    

Apa maksudnya dengan perkataannya semalam. Aku sampai tidak bisa tidur semalaman karena memikirkannya. Aku benar-benar keterlaluan. Pagi ini akan ku putuskan untuk memperbaiki semuanya, lagipula aku ingin sekali menikah dengannya. Aku mencintainya sejak dulu. Aku memutuskan menemuinya ke tempat kerjanya.

Aku telah berdiri di depan sebuah restaurant miliknya, tempatnya sama sekali tak berubah. Hanya saja semakin banyak pengunjung yang datang. Aku melangkahkan kakiku menuju ruangan Bos restaurant ini. Saat aku sudah ada di depan pintu dan ingin mengetuk pintu, aku melihat pintunya tidak tertutup rapat. Apa yang terjadi aku melihat Riki sedang dengan seorang gadis. Riki menangkup kedua pipi gadis itu dan saling mendekatkan wajahnya masing-masing seperti sedang berciuman.

Astagfirullah, aku melihat yang seharusnya tidak ku lihat. Dadaku terasa sesak, tubuhku bergetar. Aku memutar balik tubuhku dan berlari keluar.

"Kenapa mbak, tidak bertemu Pak Riki? " tanya seorang karyawan.

"Sudah. " ucapku langsung pergi.

Aku tidak menyangka dia pria yang seperti itu. Bisa-bisanya pria seperti itu mengajaku menikah. Aku sudah muak, aku tidak ingin menikah dengan pria seperti itu. Dadaku semakin sesak menahan tangis.

*****

"Selamat siang pak, ini dokumen yang Bapak minta. " ucap Alissa.

"Ya, terimakasih. " ucapku.

Alissa adalah salah satu karyawan di restaurant milikku. Dia gadis yang bisa di andalkan. Bisa di bilang dia adalah karyawan terbaikku. Bahkan bisa di sebut tangan kananku.

"Kamu kenapa? " tanyaku melihat dia dari tadi menggosok-gosok matanya yang mulai memerah.

"Ini kayaknya saya kelilipan deh. "

"Kalo kelilipan itu jangan di gosok nanti matamu iritasi. Sini saya bantu tiup. " ucapku berdiri menghampirinya.

"Boleh, tapi pelan-pelan ya. " ucapnya mendekatkan wajahnya padaku.

Aku menyikap rambutnya dengan kedua tanganku. Aku meniup mata kanannya yang kemasukan debu.

"Aww.. Udah udah.. " ucap Alissa menjauh.

"Bagaimana? " tanyaku.

"Udah gapapa kok mendingan." ucapnya lalu pamitan pergi keluar ruangan.

"Pak, tadi ada yang cariin bapak. " ucap Bimo memasuki ruanganku berlari.

"Siapa? " tanyaku.

"Cewek. " ucapnya mengacungkan kedua jempolnya.

"Cantik? " tanyaku lagi.

"Bukan cantik lagi kalo saya sampai mengacungkan kedua jempol begini pak. " ucapnya membuatku tertawa.

"Ah kamu, semua cewek menurutmu kan pasti cantik. "

"Eh beneran. Tadi katanya dia mau ketemu bapak, nah saya bilang bapak ada di ruangan. Eh tiba-tiba dia balik lagi kayak mau nangis gituh. Hayoh jangan-jangan bapak hamilin anak orang ya?! " ucapnya meledek.

"Eh enak saja. Emangnya ceweknya kayak gimana? " tanyaku.

"Cantik, tinggi, pakai jilbab segini. " ucapnya memperagakan.

"Apa?  Anindya? " ucapku langsung berlari mencarinya.

Ini pasti salah paham lagi. Jangan-jangan dia melihatku tadi dengan Alissa. Duh gawat.

Aku langsung menancap gas mobilku menuju rumahnya. Tetapi dia tidak di rumah. Aku terus mencarinya sampai pada akhirnya aku melihat dia duduk di taman sekitar Restaurant milikku.

Benar saja dia menangis sendirian di taman. Aku mendekatinya perlahan.

"Anindya? " tanyaku duduk di sebelahnya.

Dia tidak menjawabku. Aku melihatnya masih menangis.

"Kalo kamu nangis, nanti hujan turun loh. " ucapku.

"Ngapain sih, sana pergi.! " ucapnya menghapus air mata.

"Kamu kenapa nangis sendirian di sini?  Banyak yang lihat loh. " ucapku.

Dia diam menunduk. Aku membuka jaketku dan menaruhnya di atas kepalanya sampai menutupi wajahnya.

"Kalo masih mau nangis, nangis aja. Aku pinjamkan jaketku supaya orang gak liat wajah jelekmu saat menangis. " ucapku.

Sebenarnya aku paling tidak tahu menghadapi wanita yang sedang menangis. Agak canggung apalagi dengan gadis yang memakai jilbab seperti Anindya. Salah sedikit bisa kena semprot.

Lima belas menit sudah berlalu. Anindya merapikan jilbabnya yang kusut karena tertimpa jaketku.

"Antar aku pulang. " ucapnya sambil mengembalikan jaketku.

"Siap. " ucapku.

"Kamu tadi ke tempatku? " tanyaku dalam perjalanan.

"Tidak. " ucapnya.

Aku tahu dia pasti gengsi untuk mengakuinya.

"Oh ku kira tadi kamu. Soalnya tadi sedang ada karyawan wanita di ruang kerjaku. Aku cuma takut kamu salah paham. Tadi dia kelilipan dan aku membatunya meniup kotoran yang ada di matanya. Kalo kamu melihatnya tadi, pasti kamu salah paham. " ucapku menjelaskan.

"Aku tidak peduli. " ucapnya.

"Ya, aku tahu. Lagian aku tahu diri kok. Siap memangnya aku. Sahabatmu? Pacarmu? Suamimu? Kita kan cuma tetangga biasa. " ucapku menarik napas.

"Kamu pacaran dengan dia juga aku gak peduli. " ucapnya.

"Akan ku pikirkan. " jawabku.

*****

Jadi tadi itu hanya salah paham ya?
Tapi apa benar mereka tidak berciuman?
Kembali pada niat awalku, aku ingin memperbaiki hubungan ini.

"A.. Aku.. Minta maaf. " ucapku padanya pelan.

"Apa? " tanya Riki mendekatkan kupingnya padaku.

"Aku minta maaf.! "Ucapku tegas.

"Untuk apa? " tanyanya lagi.

"Buat semuanya. Maaf aku sudah memperburuk keadaan kita. " ucapku padanya.

"Jadi maksudnya kita.. ?" tanya Riki.

"Iya kita baikan. " ucapku cepat.

"Alhamdulillah.. Aku kangen deh sama kedekatan kita? " ucapnya membuatku berdebar.

"Kangen katanya? " ucapku dalam hati.

Tanpa rasa canggung akhirnya kami dekat kembali seperti dulu meski tidak seprontal dulu. Kami saling mengejek satu sama lain. Dia terus mengejek betapa jeleknya saat aku menangis.

"Jadi aku jelek?! " ucapku memukul dadanya pelan.

"Jelek banget.. Hahaaa..! " ucapnya tertawa puas sekali.

"Makanya jangan nangis lagi ya..!  Aku lebih suka melihatmu marah-marah apalagi tersenyum. " ucapnya membuatku salah tingkah.

Aku pura-pura tidak mendengar perkataannya yang terakhir itu. Sebenarnya aku sampai tidak bisa mengendalikan diriku sendiri karena ucapannya.

*****

Cinta Dalam Do'a  ANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang