17. Ketakutan yang nyata

717 30 0
                                    

Malam ini Riki demam tinggi. Aku mengompresnya dengan air hangat. Beberapa hari pernikahan aku jadi tahu sifat aslinya. Aku beruntung menikah dengannya tapi aku masih saja kepikiran hubungan Riki dan Anindya.

"Anindya.. Anindya...! "

Tiba-tiba saja Riki mengigau menyebut-nyebut nama mbak Anindya. Badannya berkeringat panas badannya semakin tinggi.

"Beb.. Beby.. Kamu bangun dong sayang. " ucapku membangunkan Riki suamiku.

"Anindya..!! " teriak Riki bangun dari tidurnya.

"Kamu mimpi buruk ya? " ucapku mengusap keringat di dahinya.

"Ahh.. Maaf. " ucap Riki mengatur napasnya.

"Aku panggilin mbak anindya ya? "

"Jangan..! " larang Riki menarik pergelangan tanganku.

Aku semakin yakin jika di antara mereka ada apa-apa. Belum lagi setelah menikah aku tidak pernah lagi melihat mereka meski hanya sekedar mengobrol biasa. Bukankah jika mereka cuma sebatas sahabat mereka akan baik-baik saja?  Mereka terus saling menghindar satu sama lain.

Beberapa bulan setelah kami menikah, akhirnya mbak Anindya juga menikah. Di hari pernikahan itu aku melihat Riki terus memandangi Anindya yang terlihat cantik dengan baju pengantinnya. Hari itu aku tidak melihat mereka tersenyum satu sama lain. Mbak anindya seperti menahan tangisnya saat bersalaman dengan Riki. Ah sekarang tidak ada alasan untuk mereka bersama. Aku tau apa yang sebenarnya terjadi antara mereka. Mereka sama-sama saling mencintai tetapi berusaha sama-sama saling merelakan. Bodoh sekali. Jika saling mencintai kenapa harus begitu?

Apalagi saat Mbak Anindya dan suaminya pindah, Riki terlihat begitu sedihnya. Dia hanya diam, murung, bahkan sampai malas makan. Sebenarnya aku kasihan melihatnya tetapi aku kesal karena Riki jadi jarang bicara meskipun dia tetap memperhatikan aku. Aku tidak melihatnya menatapku dengan Cinta. Selama pernikahan dia juga belum pernah menyentuhku sedikitpun. Setiap aku mengajaknya dia selalu beralasan tidak enak badan.

"Kamu jujur deh sama aku. " ucapku padanya yang sedang duduk di ranjang sambil membaca koran.

"Jujur apa? " tanya nya tanpa menoleh.

"Kamu sebenarnya Cinta kan sama mbak Anindya. "

"Sok tahu. " ucapnya lagi.

"Kalian itu ya sama aja. Sama-sama munafik. " ucapku kesal.

"Berhenti bahas Anindya. "

"Kenapa? Aku kan cuma bertanya. Hebat banget ya mbak Anindya sampe bisa terus di pikirin suami orang. "

"Cukup. Asal kamu tahu ya, kalo bukan karena Anindya aku tidak akan menikah denganmu. " ucap Riki keceplosan.

"Oh gitu?  Jadi aku ini apa? Aku cuma pelampiasaan kamu aja hah?! " ucapku berteriak padanya.

Plakkk...!!!

Riki menamparku. Aku menangis pergi dari hadapannya.

"Alissa..! "

Riki mengejarku dari belakang.

"Maaf Alissa, kamu udah dong jangan bikin aku tambah pusing. " ucap Riki menahanku.

"Kamu tega ya sama aku, emang Anindya yang suruh aku ngejar kamu, belajar masak buat kamu, tapi aku ini istri kamu. Aku mau hak aku. Kamu jangan mikirin dia aja dong. Kalo begini kapan kita mau punya anak? " ucapku maraah sambil menangis.

Tiba-tiba Riki memeluku. Mengusap punggungku. Mencium keningku. Kemana saja dia selama ini, kenapa baru sekarang?  Kenapa harus sampai berantem dulu baru dia mau menyentuhku.

****

Aku dan suamiku Kevin pindah ke kawasan itu kota. Hanya menempuh perjalanan setengah jam dari rumah kedua orangtuaku. Aku senang sekaligus sedih. Aku senang karena suamiku sangat sayang padaku, aku juga sedih karena harus pisah dengan orangtuaku.

Satu bulan kita hidup bersama aku merasa kita baik-baik saja. Tetapi kesini-kesini aku merasakan perubahan di dalam dirinya. Apalagi setelah beberapa bulan menikah aku belum hamil juga. Dia semakin memperlihatkan sifat aslinya.

"Kamu kok gak hamil-hamil sih? Jangan-jangan kamu mandul ya?! " ucapnya padaku saat mengetahui aku belum hamil juga.

"Astagfirullah mas, sabar mungkin Allah belum percaya sama kita mas. " ucapku menenangkannya.

"Kita?  Sama kamu tuh! " ucapnya membanting gelas yang di pegangnya.

Dia kasar sekali, berbeda dari pria yang aku kenal dulu. Bahkan sekarang-sekarang ini aku tidak pernah melihatnya solat lagi. Setiap aku mengajaknya solat berjamaah dia pasti akan marah besar.

"Kamu kenapa sih mas jadi begini. Setahuku, suamiku itu sangat baik, Soleh dan taat. Solat yuk sayang..! " aku membujuknya.

"Memangnya aku ini anak kecil?  Asal kamu tahu ya, aku nikahin kamu itu cuma sekedar penasaran bukan karena Cinta. Aku cuma mau ngerasain aja tidur sama cewek berjilbab itu kayak apa hahaa. "

"Astagfirullah mas, istigfar. Kamu kenapa sih jadi kayak gini? " ucapku menggenggam tangannya.

"Aku bosen sama kamu. " ucapnya menghempaskan tanganku lalu pergi.

Dia bilang bosan?  Memangnya aku ini apa? Yatuhan kuatkan hatiku, tabahkan aku dan ketuklah pintu hati suamiku agar dia kembali ke jalanMu.

Suamiku makin kesini jadi makin jarang pulang. Sampai pada hari ini aku bagaikan sedang bermimpi buruk, suamiku membawa perempuan lain ke rumah. Aku melihat mereka mesra sekali, hal yang tidak pantas di lakukan seorang suami dengan wanita lain yang bukan muhrim. Mereka bahkan tidak sungkan saling memeluk bahkan mencium di hadapanku.

"Astagfirullah mas, jangan mas Dosa. " ucapku menarik tangannya menjauhi perempuan itu.

"Mbak, mbak juga sebaiknya pulang ini sudah malam mbak. " ucapku pada Rani perempuan itu.

"Apa-apaan sih kamu, gak usah ngatur-ngatur deh. Kamu itu gak bisa punya anak jadi wajarlah kalo aku nyari kesenangan dari wanita lain. " ucapnya menghampiri gadis itu lagi.

"Mas, jangan mas aku mohon. " ucapku menarik tangannya.

"Kamu mau aku ceraikan hah? " ucapnya membuatku tercengang.

"Ceraikan sajalah sayang. Lagian dia kan tidak berguna." ucap Rani menambahkan.

YaAllah dosa apa yang pernah ku perbuat sampai suamiku jadi seperti itu? Kuatkan aku Ya Allah.

Aku hanya bisa menangis melihat mereka keluar dari rumah berdua. Sakit,aku benar-benar sakit karenanya.aku rindu rumah.aku rindu Ayah dan Ibu. Aku rindu suamiku yang dulu. Aku juga rindu Riki.

*****

Cinta Dalam Do'a  ANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang