15. Kevin Mahes

746 32 0
                                    

Aku bagaiman terombang-ambing di lautan.  Tanpa tahu arah dan tujuan aku tetap terus bertahan. Kini sudah tak ada alasan bagiku untuk menunggunya. Akupun tidak pernah berani menatapnya lebih dari 15 detik saat berhadapan dengannya. Entah mengapa, perasaan ini semakin ku tepis semakin aku merasakan luka yang mendalam.

Terkadang aku tidak bisa berpikir jernih saat melihatnya di sentuh atau bahkan di cium gadis lain. Aku hanya bisa melihat mereka dari jendela kamar bertutupkan kain tipis. Mereka terlihat sangat bahagia, dan aku?  Aku yang masih egois ini malah menangisi kebodohanku yang pernah melepasnya. Ini mungkin sudah suratan tetapi aku harus tetap bertahan menjalani hidupku.

Mengajar adalah satu-satunya cara agar aku dapat melupakannya dengan membagikan ilmu pada orang lain. Tak mengapa asal bisa melupakannya sebentar saja aku sudah seperti menghibur diri sendiri. Aku terus menikmati kesendirianku sampai pada akhirnya aku di pertemukan dengan seorang pria.

"Assalamualaikum, mohon maaf apa anda tahu alamat ini? " tanya seorang pria padaku saat aku akan menyebrang jalan.

"Wa'alaikum salam. Oh kalo ini dari sini lurus aja, ada pertigaan belok kiri. Tidak jauh dari sana ada bangunan paling besar di sana tempatnya. " ucapku menjelaskan.

"Oh terimakasih. "

"Sama-sama. " ucapku mengangguk.

"Sebentar. Boleh saya minta nomer hp anda? "

"Ah.. Tapi.. " ucapku heran.

"Hanya untuk membalas kebaikan anda karena sudah memberitahuku tadi. Sekarang saya sedang terburu-buru. Bolehkan? " ucapnya sambil menyodorkan handphone yang di pegangnya.

Tanpa berpikir panjang aku langsung mengerikan nomberku di layar handphonenya. Rasanya tidak enak juga jika aku menolaknya lagian dia terlihat seperti pemuda yang santun dan agamis.

"Terimakasih, kalo begitu saya pamit. Assalamualaikum. " ucapnya melambaikan tangannya.

Aku menjawab salamnya. Dia menghilang dari kejauhan. Aku terus melihat ke arahnya sampai lupa jika aku sedang ingin menyebrang. Sudah terlambat lampu merah sudah berganti menjadi kuning dan di susul dengan warna hijau  tanda kendaraan berjalan kembali. Aku terpaksa harus menunggunya lagi sampai lampu merah itu kembali menyala.

Sesampai di rumah aku membaringkan tubuhku di kursi ruang tamu. Tiba-tiba handphoneku bergetar. Ada sebuah pesan dari nombor tak di kenal.

No name : Assalamualaikum.

Me :  Waalaikum salam.

No name : ini saya yang tadi menanyakan.
                    alamat.

Me : oh iya, apa sudah ketemu alamatnya?

No name : sudah terimakasih ya.
                    Oh ya belum sempat kenalan.
                    Saya Kevin.

Me : Anindya.

Kevin : Namanya cantik. Bolehkan aku
              berharap jika kita akan di
               pertemukan lagi?

Me : Kun fayakun

Pria itu bernama Kevin Mahes. Dia lama tinggal di Amerika. Setelah lulus dia meneruskan perusahaan ayahnya di sini. Hanya berjarak satu bulan saja aku mengenalnya dia langsung melamarku ke kedua orangtuaku. Aku tidak punya alasan untuk menolaknya. Dia sangat baik. Tutur katanya lembut, penuh perhatian juga sangat baik saat beribadah. Dia pemuda yang taat.

Setelah menikah aku di bawanya pindah dari rumah. Ini adalah kali terakhir aku dapat melihat ke arah rumah Riki dari jendela kamarku saat malam hari. Berbeda dengan aku yang tidak datang saat pernikahannya. Riki justru hadir bersama istrinya Alissa sampai acara selesai. Aku sangat menyesali perbuatanku dulu yang sangat egois pada mereka. Riki dan Alissa terlihat sangat bahagia begitupun dengan aku. Aku harus bisa bahagia dan ikhlas. Lagipula kini aku juga sudah bersuami.

Dosa besar jika aku masih memikirkan pria lain. Apalagi setelah masing-masing memiliki status pasangan orang lain. Aku hanya bisa mendoakannya. Semoga dia hidup bahagia dengan pilihannya begitupun diriku.

"Sayang.. Ko malam pertamanya kamu malah ngelamun sih.? " ucap Kevin menyentuh tanganku.

"Ah iya maaf Sayang sepertinya aku harus mencuci wajahku. " ucapku pamit kemudian membasuh wajahku.

Sebetulnya aku merasa sangat gugup duduk berdua dengannya apalagi dengan jarak sedekat itu. Tanganku bahkan tidak perna di sentuh laki-laki lain selain Riki. Rasanya ini begitu menyulitkan untukku. Aku menarik napas berulang-ulang demi menetralisir kegugupanku. Aku segera menghampirinya lagi. Bagaimanapun kini aku adalah seorang istri. Aku harus taat pada suamiku.

"Sayang.. Kalo kamu belum siap tidak apa, aku bisa menunggu kok. " ucapnya tersenyum padaku.

Wajahnya yang tampan membuat hatiku meleleh seketika melihat senyumnya.

"Tidak. Tidak apa-apa, aku ini istrimu. "Ucapku duduk di sampingnya.

" setelah menikah, bagaimana perasaanmu? " tanya Kevin mengusap kepalaku yang masih tertutup jilbab.

"Aku senang. Bagaimana kamu? "

"Aku jauh lebih senang. " ucapnya kemudian mencium bibirku seketika.

Aku tersentak kaget, aku jadi teringat pria itu. Pria yang sudah menciumku malam itu. Ah tiba-tiba saja kepalaku pusing mengingatnya. Jantungku berdebar kencang.

"Kenapa sayang? "

"Gapapa kok aku hanya... "

"Kamu tidak pernah di cium laki-laki ya? " ucapnya menggodaku.

Aku hanya tersenyum memandangnya. Pria ini begitu hangat dan lembut. Tiba-tiba saja dia menciumku lagi beberapa kali lalu ciumannya yang ini membuatku hilang kendali. Aku terbawa suasana malam yang awalnya ku rasakan dingin kini menjadi sangat panas.

Sampai aku tersadar saat dia membuka jilbabku. Dia memandangku dengan rambut panjangku yang terurai.

"Kamu jauh lebih cantik, dari sebelumnya. " ucapnya mengelus pipiku.

"Aku milikmu. " ucapku.

"Benar. Mulai besok aku tidak ingin kamu memakai ini lagi. " ucapnya melempar jilbabku ke kursi tata rias.

Aku sempat kaget mendengarnya. Tetapi mungkin maksudnya adalah saat berdua dengannya seperti ini aku tidak perlu menutup kepalaku dengan jilbab karena kini aku dan dia sudah sah menjadi sepasang suami istri.

*****

Cinta Dalam Do'a  ANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang