"Dia menangis?" gumam Kinan seraya terus mengarahkan pandangan matanya ke orang asing itu.
"Ah, tak perlu dipikirkan. Dasar orang aneh. Sudah menabrak, tapi malah pergi begitu saja," ucapnya kesal dan kemudian ia bangkit. Setelah itu Kinan mengambil barang-barang yang berserakan lalu melanjutkan langkahnya lagi.
Akhirnya Kinan sampai di lantai tiga dan ia bergegas berjalan masuk ke dalam kamar apartemen yang akan ia tempati bersama kedua orang tuanya. Kamar apartemen itu cukup luas dan tidak terlalu mewah akan tetapi sangat nyaman untuk ditinggali. Banyak ornamen-ornamen khas budaya Jepang yang menghiasi setiap sudut ruangan itu, baik di ruang makan ataupun di ruang tamu.
Setelah menaruh segala barang dan merapikannya, ia pun masuk ke kamar. Tak ada yang istimewa hanya ada sebuah kasur dengan ukuran sedang dan di samping tempat tidur itu teradapat sebuah jendela yang mengarah keluar sehingga sangat terlihat jelas keadaan kota Osaka serta ada sebuah meja kecil di pojok kamar itu. Tapi, Kinan tidak terlalu mempermasalahkannya. Ia merasa apa yang ia dapatkan ini sudah lebih dari cukup.
Kinan lalu merebahkan tubuhnya yang sudah sangat lelah itu. Perasaan nyaman pun Kinan rasakan ketika itu juga.
"Nyaman sekali..." ucapnya sambil mengusap-usap sprei kasur itu.
Tak lama Kinan bangkit dan karena ia sedikit penasaran dengan pemandangan yang akan terlihat dari balik jendela kamarnya itu Kinan lalu mendekat dan membuka tirai yang menutupi jendela tersebut. Matanya pun langsung disambut oleh pemandangan yang sangat menenangkan. Walau hanya ada lampu-lampu kota dan kendaraan yang berlalu lalang akan tetapi entah mengapa semua itu justru membuat Kinan tak ingin memalingkan pandangannya.
Kala Kinan sedang menikmati pemandangan yang berada di hadapannya itu, netranya pun saat itu pula tak sengaja menangkap sosok pria yang menabraknya tadi. Entah darimana pria itu akan tetapi ia membawa banyak kantong plastik berwarna hitam yang diduga berisi beberapa makanan atau barang-barang kebutuhan lainnya.
"Untuk apa barang sebanyak itu? Apa dia akan berpesta?" gumam Kinan heran.
Setelah itu karena ia masih kesal dengan kejadian tadi Kinan pun tak mau memedulikan pria itu. Ia pun memalingkan pandangannya dan menutup kembali tirai jendela kamarnya itu.
***
Sinar matahari menyusup masuk melalui celah jendela kamar Kinan. Cahaya terangnya membuat Kinan terbangun dari tidurnya. Hari itu merupakan hari pertama Kinan masuk ke sekolah barunya. Namun, kali ini Kinan sepertinya lupa jika ia harus berangkat ke sekolah.
"Nak, bangun! Sudah pagi. Kamu harus berangkat ke sekolah," panggil ibunda Kinan dari arah dapur.
Benar saja, Kinan langsung tersentak mendengarnya. Karena ia benar-benar melupakan hal itu.
"Iya, Bun!" jawabnya panik.
Kinan pun kemudian berlarian kesana kemari mencari seragam sekolahnya. Setelah Kinan mendapatkannya ia pun bergegas melangkahkan kaki masuk ke kamar mandi. Hanya butuh waktu 25 menit setelah itu Kinan pun beranjak keluar.
Setelah itu Kinan masuk ke kamarnya kembali. Ia mengambil sisir rambut dan duduk di atas kasur. Lalu ia mulai merapikan rambutnya yang terurai panjang. Namun kala Kinan sedang sibuk menyisir rambutnya, lagi-lagi di dalam hati kecilnya muncul sebuah keraguan. Keraguan untuk memulai semuanya. Semuanya yang masih sangat terasa asing baginya. Di antara keraguannya itu muncul pula ketakutan di dalam diri Kinan. Ketakutan akan sebuah penolakan. Penolakan oleh lingkungan barunya terhadap kehadirannya.
Namun, sebisa mungkin Kinan untuk tidak memedulikan rasa takutnya itu. Ia menyakinkan diri bahwa ia mampu untuk memulai segalanya dari awal.
"Tak ada yang perlu ditakutkan, Kinan. Kau pasti bisa." gumamnya beusaha mengusir segala rasa yang menghantuinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perspektif
Teen FictionSemesta buat mereka bertemu. Menyatukan apa yang belum menjadi satu dan padu. Mengerti dan memahami masa lalu yang pilu. Ada yang membantu dan dibantu keluar dari rasa sakit yang tak pernah bersurai temu. Kei dan Kinan akan menyatu walau perpisahan...