Bab 13 : Kerangka Bahagia

29 3 0
                                    

"Aku pulang." ujar Kinan sambil melangkahkan kaki masuk ke apartemen.

Kemudian ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak sepatu dekat pintu. Lalu Kinan bergegas menuju kamarnya.

"Eh, Nak, baru pulang. Langsung makan, ya, Kinan. Bunda sudah masak makanan kesukaanmu." ucap ibunda Kinan ketika mengetahui putrinya sudah pulang.

"Aku tidak lapar, Bun. Aku mau mandi setelah itu langsung ingin istirahat saja." balas Kinan.

"Kamu tidak enak badan, Kinan?" tanya ibunda Kinan khawatir.

"Tidak, aku baik-baik saja, Bun. Cuma hari ini aku merasa lelah sekali." ucap Kinan menjelaskan.

"Oh, begitu. Tapi, kalau kamu merasa sakit atau butuh apa-apa langsung bilang bunda, ya, Kinan." ucap bunda.

"Iya, Bun." balas Kinan singkat dan setelah itu ia melanjutkan langkahnya.

Namun, baru sesaat kemudian langkahnya tercegah lagi karena bunda memanggil Kinan lagi.

"Ada apa, Bun?" tanya Kinan.

"Itu... jaket yang kamu pakai milik siapa? Setahu bunda kamu tidak punya jaket seperti itu," tanya bunda penasaran.

Ya, Tuhan, aku lupa mengembalikannya.

"Kinan? Kok diam saja?" ucap bunda lagi.

"Ah, ini jaket milik teman, Bun." jawab Kinan.

"Laki-laki?" tanya bunda sekali lagi.

"Iya." jawab Kinan singkat.

Tiba-tiba ibunda Kinan memasang muka curiga kepada anaknya itu."Kamu berpacaran, ya?" tanya bunda frontal.

"Apaan sih, Bun," ujar Kinan kesal namun pipinya perlahan muncul rona merah."Tidak ada yang sedang berpacaran!" lanjutnya.

"Biasanya sih orang yang meminjamkan barang miliknya untuk orang lain itu identik dengan orang yang sedang jatuh cinta." jelas bunda.

"Analogi bunda tidak jelas. Sudah, Kinan mau beres-beres." ujar Kinan lalu langsung beranjak pergi ke kamarnya.

Bunda sesaat hanya tertawa kecil melihat tingkah anaknya itu.

***

Setelah membersihkan diri dan semacamnya, Kinan pun kemudian merebahkan raganya di atas kasurnya. Arah pandangnya menatap langit-langit kamarnya. Dan tiba-tiba dalam kepalanya terputar kembali kalimat Kei tadi.

Aku tidak ingin lagi merasakan kehilangan, Kinan.

Sejujurnya Kinan pun khawatir jika ditanya tentang kehilangan. Ia juga takut akan sebuah perpisahan baik itu hanya sementara. Tetap, Kinan benar-benar tidak siap pula jika harus bertemu kehilangan. Dia hanya berpura-pura baik-baik saja di depan mata Kei. Kinan tidak mau membuat Kei menderita lagi dengan membuatnya cemas dan bersedih. Ia sebisa mungkin untuk tetap mengontrol dirinya.

Kinan berusaha untuk menghapuskan seluruh prasangka buruknya yang muncul di dalam pikirnya. Ia tak mau lagi dihantui pikiran tidak menyenangkan dan kejam. Mengenai esok yang tidak ada orang satu pun yang tahu akan seperti apa, tapi terkadang pikirannya sendiri sudah menyimpulkannya. Sebuah kesimpulan yang tak jarang benar-benar tidak bisa diterima. Atau lebih tepatnya, tidak diinginkan untuk terjadi.

Ketika pikirannya semakin kacau, ia secepat mungkin memejamkan netranya dan langsung mengalihkan dengan memikirkan hal-hal menyenangkan. Sesuatu yang bisa membuatnya tenang. Dan kemudian terbesit bayangan orang-orang yang Kinan kenal sedang tersenyum penuh ketulusan ke arahnya. Ketika salju perlahan turun, senyum mereka berhasil menghangatkan keadaan. Mereka bermain salju, tertawa bahagia di tempat yang begitu menakjubkan. Begitu indah untuk menjadi sekadar bayangan saja.

PerspektifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang