Bab 11 : Mengharap Abadi

48 3 0
                                    

Riuh jalanan kota Osaka tidak punya arti pada sunyi yang sedang Kei rasakan saat itu. Pikirannya berkelana kemana-mana dan menjemput berbagai andai-andai buruk.

Beberapa waktu?

Kei menghentikan langkah kakinya dan menghela napas pendek sejenak. Mengingat kata itu membuatnya merasa kembali dirundung awan gelap. Berusaha melupakannya tapi justru ia mengingatnya lebih lekat. Kei tidak mau kembali pada kegelapan yang menyakitkan itu. Karenanya ia percaya pada pengharapannya walau kepastian tidak ada padanya.

Setelah dirasa hatinya merasa lebih tenang ia lanjutkan perjalanan yang sempat terhenti. Setelah melalui jalan yang cukup ramai oleh kendaraan dan pejalan kaki lainnya, Kei menuju jalanan yang lebih lengang. Tak banyak orang yang berlalu lalang di jalanan yang Kei lalui.

Selama melalu jalanan lengang, Kei tidak pernah menduga jika sesuatu keburukan akan mendatanginya. Saat ia melalui jalanan itu, Kei bertemu dengan seorang laki-laki bertubuh kekar. Raut wajahnya sayu dan tubuhnya gontai seperti akan terjatuh. Di tangan kanannya terlihat laki-laki itu membawa sebotol bir. Kei menyimpulkan laki-laki itu sedang keadaan mabuk berat.

Sedari tadi laki-laki itu terus berjalan maju semakin dekat dengan Kei. Kei berusaha untuk tidak menghiraukannya. Namun, tiba-tiba laki-laki itu memanggilnya.

"Hey!" teriak laki-laki itu dengan suara seraknya.

Kei berusaha untuk diam dan tidak menggubrisnya. Ia melanjutkan langkah kakinya. Namun, hal itu justru membuat laki-laki itu marah kepada Kei.

"Hey, anak muda! Kau dengar tidak! Dasar tidak punya sopan santun!" teriak laki-laki itu berbicara melantur.

Kei tersentak dan langkahnya seketika terhenti. Laki-laki itu justru dengan cepat berjalan mendekat ke arah Kei. Namun, Kei tak memedulikannya ia pun kembali melangkah. Belum ia dapatkan satu langkah justru bahu Kei ditarik paksa dan tepat satu hantaman mengenai pipi sebelah kanannya.

Setelahnya didoronglah Kei keras dengan keras dan membuat Kei terjatuh. Laki-laki aneh yang Kei temui pun pergi sembari bergumam tidak jelas. Sebenarnya Kei masih sanggup untuk membalas perbuatan laki-laki itu. Namun, ia memilih untuk tidak melakukannya. Karena ia tahu membalasnya hanya akan memperburuk keadaan.

Lalu ia pun berusaha bangkit. Walau sesekali ia merintih kesakitan. Pipinya lebam dan ujung bibirnya mengeluarkan darah. Sesaat Kei membersihkan darah yang keluar dari ujung bibirnya itu. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya kembali ke rumah sakit.

***

Kei tiba di rumah sakit. Ketika sampai di kamar, netranya menangkap gadis kecil yang sudah tertidur dengan lelapnya. Perasaannya begitu tenang hanya dengan melihat sang adik yang sedang bermimpi.

Kei mendekat ke arah kasur Hana dan ia kemudian mencium kening orang yang benar-benar istimewa di dalam hidupnya itu.

"Selamat tidur, Hana." ucap Kei pelan seraya mengusap kepala Hana.

Lalu Kei mematikan lampu dan ia pun menunju sofa untuk merebahkan badannya yang sudah begitu penat. Kei menarik selimut untuk menutup tubuhnya dan rasa hangat langsung menyertainya. Ia tidak langsung terlelap. Kei menatap langit-langit ruangan itu.

Fokusnya sekarang ada pada orang yang ia anggap sebagai sebuah 'cahaya.' Kinan telah menjelma bayang dalam pikirnya. Hati berbisik bahwa pertemuan itu ialah takdir semesta yang tidak semata-mata tanpa kausa. Dan Kei kemudian memahami hal itu.

Mulai muncul perasaan tidak ingin menemui kehilangan untuk kesekian kalinya. Rasanya Kei ingin membinasakan kata 'sementara' di dunia ini. Ingin ia buat abadi segalanya. Namun, lagi-lagi Kei paham itu semua hanyalah asa yang hingga kapapun tak akan menjadi nyata.

PerspektifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang