Kevin menatap acara pemakaman itu dari kejauhan. Bisa saja dia mendekat, tapi dia tak mau. Dari sana dia bisa melihat adiknya yang sedaritadi menatap kosong acara pemakaman yang berlangsung didepannya.
Ini semua salah gue, Train. Jangan maafin gue.
Kevin langsung meninggalkan tempat itu tanpa menoleh ke belakang lagi.
***
"Lo jadi kapten."
Alva mengorek kupingnya, memastikan kalau dia tidak salah dengar. "Tadi lo nawarin gue jadi kapten?" tanyanya ke Joan yang ada disebelahnya.
"Iya. Menurut gue lo pantes. Skill lo tinggi, nggak main-main. Lo terjago disini, lo bahkan jauh melebihi gue. Jadi menurut gue lo pantes di posisi ini," jawab Joan. Dia sudah memikirkan matang-matang sejak dia dikalahkan oleh Alva dalam 1 on 1 kemarin.
"Sorry gue sama sekali nggak minat," balas Alva yang langsung pergi meninggalkan Joan untuk melanjutkan latihan.
"Kenapa?" tanya Joan membuat Alva menghentikan langkahnya. Lalau Alva menghela napas panjang.
"Kapten itu bukan orang dengan skill tinggi diantara yang lainnya. Dia harus diakui sama anggota lain, lo nggak bisa sembarang ngasih jabatan kapten ke sembarang orang tanpa persetujuan yang lainnya. Dan menurut gue, lo lah yang paling pantes jadi kapten," jawab Alva. "Jangan terlalu percaya sama gue, atau lo bakal menyesal," lanjutnya sambil tersenyum.
Alva baru mau berbalik ketika sabuah bola hampir mengenai wajahnya. Dengan reflex dia langsung menangkapnya.
"Jangan santai-santai, anggota baru! Lo udah bolos kemaren, gue nggak akan biarin lo bolos lagi hari ini. Padahal elo yang udah buat kita semua mandi keringet tiga kali lebih banyak dari yang biasanya," ternyata Rachel yang sengaja melemparkan bola ke Alva tadi. Alva tersenyum.
Meski baru dua hari disini, rasanya dia sudah bisa beradaptasi dengan suasananya. Walau itu bukan niatnya. Dia hanya masuk ke ekskul basket untuk ikut pertandingan antara Ekklesie dengan Eithel. Untuk menuruti taruhannya ke Aida.
Alva dan Aida memang sering main 1 on 1 dulu sewaktu senggang, tapi nggak serius, melainkan sambil becanda. Tapi kali ini, pertandingan mereka serius. Seberanya Alva sama sekali tak peduli dengan taruhan yang diajak Aida, dia hanya ingin bertanding serius dengan Aida selagi masih ada kesempatan terbuka. Menurut Alva, Aida sebenarnya nggak lebih lemah darinya. Dia ingin tahu gimana permainan Aida ketika serius.
Alva mengambil ancang-ancang untuk melakukan shooting dari dekat garis three point ke ring basket seberang yang berjarak kira-kira sekitar lima sampai empat belas meter. Alva sengaja ingin mencobanya, karena batas terjauh yang pernah dia coba adalah division line. Karena itu dia tidak melakukan shooting ke ring terdekat dari posisinya, melainkan yang terjauh. Bola masuk dengan mulus ke dalam ring, membuat anak-anak yang sedang ekskul langsung melongo melihatnya.
"Oh... masuk," ujar Alva datar.
"Monster...." Komentar Rachel begitu melihatnya. Mau nggak mau dia harus mengakuinya. Skill Alva jauh melebihi normalnya anak SMP, terutama cewek. Dia mungkin bisa dikatakan setingkat dengan WNBA atau bahkan lebih, kalau dia berniat di dunia olahraga, namanya akan sangat terkenal. Rachel sendiri penasaran darimana Alva berlatih sampai bisa seperti itu.
"Itu sih bukan manusia. Gila, jago banget," komentar anggota regular yang ada di sebelah Rachel, namanya Riana.
Anggota regular ada tiga orang dari kelas sembilan, tujuh orang dari kelas 8 delapan dan dua orang dari kelas tujuh. Tapi berhubung kelas sembilan sekarang ekskulnya sudah ditiadakan karena ujian-ujian, jadi dipilih lagi tiga orang baru, salah satunya Alva dan dua lagi dari kelas tujuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Limited Time [COMPLETED]
Teen FictionAlva Valdeze, putri kedua keluarga Valdeze hampir memiliki segalanya. Kecerdasan, uang, dan keahlian dalam olahraga. Satu hal yang tidak dia miliki: waktu. Begitu tahu leukemia menggerogoti dirinya, Alva berubah drastis. Dia ingin semua orang yang d...