Masuknya Alva di hari Senin membuat beberapa orang yang mengkhawatirkannya lega, termasuk Joan dan Rachel yang langsung menyemprotnya dengan berbagai pertanyaan tadi pagi.
Mulai hari ini, Alva memutuskan untuk kembali ke rumahnya yang lama dan tinggal bersama keluarganya. Keputusan itu diambilnya setelah berbincang dengan Pak Albert kemarin. Franky sudah memindahkan barangnya pagi tadi.
Saat baru membuka pintu, Aida sudah menunggunya disamping tangga yang menuju lantai dua.
"Ikut gue ke gazebo. Ada yang pengen gue omongin," ujar Aida sebelum Alva sempat menginjakan kaki masuk ke rumah.
"Rasanya nggak ada yang perlu gue omongin ke elo, gue nggak punya waktu buat lo," balas Alva yang langsung masuk dan menaiki tangga tanpa mempedulikan keberadaan Aida.
"Dua bulan yang lalu di ruang kepsek dan di depan anak-anak Eithel, itu akting atau beneran?" tanya Aida langsung tak mau membuang-buang waktu.
"Apa?" Alva menghentikan langkahnya yang sedang menaiki tangga.
"Lo bilang nggak punya waktu, jadi gue tanya sekarang."
"Kalau begitu gue juga nggak mau buang-buang waktu buat menjawab pertanyaan nggak bermutu lo. Elo kan udah tau sendiri jawabannya."
"Itu akting?" balasan dari Aida yang tak terduga membuat Alva menatapnya tajam.
"Apa kata lo?"
"Sejak kapan Alva jadi budek? Gue bilang, 'itu akting?' Bukannya lo sendiri yang tadi ngomong kalau gue udah tau jawabannya. Kalau itu jawaban yang gue tau, lo mau gimana? Ngelak atau apa?"
"Lo nggak perlu tau. Urus aja permasalahan lo sendiri. Bukannya lo benci sama gue sampai-sampai taruhan buat ngusir gue dari kehidupan lo?"
"Apa permintaan lo ke gue?"
Pertanyaan Aida membuat Alva menimbang-nimbang. Setelah berpikir selama beberapa detik, dia menemukan jawaban yang tepat. "Gue bakal kasih tau apa permintaan gue nggak lama lagi. be pantient dan lo harus nepatin, sesuai perjanjian."
"So, sekarang kembali lagi ke permasalahan utama. Kenapa lo bilang kalau gue nggak perlu tau? Berarti jawaban gue bener? Kalau itu akting?"
Sial, kakaknya ini terlalu cerdas. Pikir Alva.
Telepon masuk dari handphone Aida menghentikan percakapan mereka. Alva langsung ngeluyur pergi begitu melihat Aida mengangkat teleponnya.
"Ada apa? Oh oke... saya kesana sekarang," Aida langsung bersiap-siap untuk pergi setelahnya dan meninggalkan rumah.
Alva menarik napas lega karena terbabas dari pertanyaan Aida.
***
Telepon itu ternyata dari dokter Bryant, dokter pribadi keluarga Valdeze yang kemarin memeriksa cedera kaki Aida. Dia menyuruh Aida datang untuk mengambil hasilnya, karena beberapa hari ini Aida belum sempat mengambilnya.
"Tidak ada apa-apa, hanya cedera biasa. tapi lebih baik jangan melakukan aktivitas berat dulu selama beberapa bulan," ujar dokter Bryant.
"Kira-kira berapa bulan baru boleh?" tanya Aida. Dua bulan kedepan dia harus mengikuti pertandingan di sebuah sekolah, pertandingan terakhirnya sebagai murid SMP dan dia tak mau gagal hanya karena cedera di kakinya.
"Satu atau dua bulan sudah cukup," jawab dokter Bryant membuat Aida lega. "Oya, bisa saya menitipkan sesuatu pada Pak Albert? Saya dengar dia sudah kembali ke Indonesia kemarin. Tapi saya belum sempat bertemu dengannya karena beberapa hal, jadi saya pikir lebih baik menitipkannya padamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Limited Time [COMPLETED]
Teen FictionAlva Valdeze, putri kedua keluarga Valdeze hampir memiliki segalanya. Kecerdasan, uang, dan keahlian dalam olahraga. Satu hal yang tidak dia miliki: waktu. Begitu tahu leukemia menggerogoti dirinya, Alva berubah drastis. Dia ingin semua orang yang d...