-19-

3.1K 352 61
                                    

Loves By Jiikeiha

Disclaimer By Masashi Kishimoto

.

.

.

Hyuuga Hinata lupa kapan terakhir kali tepatnya ia tersenyum. Cahaya dari Amethystnya pun meredup, meski tak lagi menangis, siapa pun yang melihat kedua pupil bening itu tau betapa dalam luka yang ia derita.

Dua minggu sudah gadis manis bersurai indigo itu menjalani perawatan di rumah sakit yang notabene milik keluarganya. Kondisi mentalnya yang tertekan membuat Hinata berubah dari gadis ceria menjadi seseorang yang pendiam dengan wajah tanpa ekspresi.

Hinata tidak mengalami gangguan kejiwaan, hanya saja dirinya memutuskan untuk berhenti berbicara, namun sesekali gadis itu berteriak histeris hingga tubuhnya bergetar hebat seperti menahan beban berat, membuat semua yang melihatnya pasti mengiba. Hinata berubah saat seluruh keluarganya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan pesawat.

"Bagaimana kondisinya?"

Seorang pria berwajah tampan masuk ke dalam ruang perawatan Hinata yang terbilang cukup mewah. Pria itu mengenakan stelan jas layaknya seorang dokter, stetoskop terlihat masih mengalung di leher jenjangnya.

"Masih sama dokter, Hyuuga-sama belum mau berbicara atau merespon apa pun yang kami katakan dan lakukan," jelas seorang suster berkacamata yang baru saja selesai memeriksa keadaan Hinata.

"Hn, kau boleh pergi." Suster itu mengangguk patuh pun pergi meninggalkan kamar kelas VVIP tersebut.

Dengan langkah tegas dokter muda itu menghampiri ranjang tempat Hinata berbaring sepanjang hari. Gadis itu hanya akan meninggalkan ranjang saat hendak ke toilet.

Dokter tampan itu memposisikan diri duduk di sisi ranjang tepat di sebelah Hinata. Onyxnya mengikuti arah pandang amethyst Hinata yang menatap nanar ke luar jendela.

"Kau suka salju?" Suara baritone dari sisi kanannya menyapa gendang telinga Hinata yang bergeming.

Sedetik kemudian telinganya mendengar helaan napas berat dari pria yang tadi berbicara padanya.

"Aku benci mereka." Hinata merasa nada bicara pria itu sarat akan luka, mencoba acuh, pandangan Hinata masih lurus ke arah jendela, menatap ke luar ruangan yang serba putih, salju sedang turun sangat lebat hari itu.

"Saat mereka datang, ibu panti asuhan menemukan ku menangis di luar pagar." Onyx yang selalu terlihat tajam itu perlahan melembut. Hinata tentu tak bisa melihatnya namun hatinya merasa tergelitik untuk sekedar bertanya atau menanggapi curahan hati dokter muda yang merawatnya selama dua minggu terakhir.

"Mereka datang seakan membuatku tersadar, bahwa aku tak pernah diinginkan." Kedua tangan Hinata meremas pelan selimut tebal yang menutupi separuh tubuhnya.

Teringat kembali kenangan bersama keluarganya ... Tousan, Okasan, Niisan dan Imotounya. Betapa mereka selalu menyambut musim dingin dengan suka cita, terutama saat salju turun. Hinata selalu menyukai musim dingin karena banyak alasan ... Natal, ulang tahunnya dan tahun baru. Musim dingin selalu menjadi musim yang paling ditunggu Hinata, gadis berwajah manis itu merasa bahwa salju begitu indah memesona, romantis dan mistis.

"Bahkan saat ini pun, aku benci harus bekerja ketika mereka datang." Terdengar jelas dokter muda itu mendengus, membuat Hinata refleks menoleh ke arahnya.

Onyx bertemu amethyst ... malam bertemu rembulan ... serasi dan mengagumkan.

Jarak mereka yang tak begitu jauh membuat kedua irish mata berbeda warna itu menjelajah masing-masing pahatan indah sang kuasa yang tercipta di depan mata, seketika hati keduanya mengagumi keindahan wajah satu sama lain.

LovesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang