2. Gadis Yang Berlari

9.4K 693 13
                                    

Brosur "Pendaftaran Taruna Akademi Angkatan Udara" yang diberikan Bang Yuda kini terpajang pada dinding kamar Abdil. Setiap sabtu dan minggu dengan semangat ia melatih fisiknya. Disela-sela belajarnya, Abdil menyempatkan push up dan sit up.

Seminggu dua kali, ia juga latihan renang sepulang sekolah di kolam renang yang tidak jauh dari sekolah juga latihan lari setiap CFD di Bundaran HI.

Belajar untuk ujian nasional dan latihan fisik untuk menjadi calon taruna AAU ia lakukan dengan maksimal.

Abdil sebenarnya adalah anak yang cerdas, ia berhasil masuk di SMA favorit se-Jakarta Selatan dengan nilai yang tinggi di jurusan Ilmu Alam. Namun semangatnya menurun setelah kedua orangtuanya wafat.

Mamahnya lebih dahulu wafat karena sakit. Sejak itu Abdil mulai melampiaskan hidupnya bersama teman-teman yang suka nongkrong dan tawuran. Ia hanya pulang kerumah untuk berganti pakaian dan meminta uang saku untuk kemudian pergi lagi. Kenakalan Abdil bertambah parah setelah sang Ayah kemudian menyusul Mamahnya.

Saat ujian nasional tiba, bukan rahasia lagi akan ada kunci jawaban yang disebar. Abdil diberikan paket kunci jawaban oleh temannya.

"payah lu, sekarang udah jarang nongkrong!"

"ah, bisa aja lu!"

"nih! Buat lu. Tanda dari solidnya tongkrongan kita."

"makasih coy!"

paket kunci jawaban yang sudah tersalin disebuah kertas itu ia ambil dan dibuang ketempat sampah setelah temannya pergi.

Hasil memang tak akan pernah mengkhianati usaha. Abdil lulus SMA dengan nilai yang tinggi. Begitu juga hasil pengumuman CATAR AAU, Abdil berhasil lulus dan akan berangkat menuju Akademi Militer di Magelang.

Bang Yuda menepuk pundak Abdil sambil tersenyum. Kak Kiki memeluk keduanya sambil menangis.

"Abdil berangkat dulu ya!"

"jangan pulang sebelum jadi Marsekal!"

Kak Kiki menyikut Bang Yuda, mereka kemudian tertawa sebelum berpisah dengan adik tercinta.

Beberapa tahun berlalu dengan cepat. Saat ini, Abdil sudah menjadi Sersan Mayor Satu Taruna. Tinggal selangkah lagi ia akan lulus sebagai perwira Letnan Dua TNI AU.

Ketika sedang Pesiar, dimana seluruh taruna diperbolehkan untuk keluar dari kesatrian dan jalan-jalan juga berkunjung kerumah saudara disekitar Jogja, dari dalam bus Abdil melihat seorang perempuan yang sedang berlari.

Ujung kerudungnya melayang mengikuti arah larinya perempuan itu. Sayangya, bus berbelok dan perempuan itu tidak terlihat lagi. Kejadian ini terus terjadi saat persiar. lagi-lagi perempuan itu berlari entah sedang dikejar atau mengejar. Kakinya terus berlari tanpa henti.

Abdil yang penasaran berencana untuk mengikuti perempuan itu. setelah turun dari bus, Abdil menunggu perempuan itu lewat. Tidak lama kemudian, perempuan itu datang dan Abdil mengikutinya.

Mereka berlari menelusuri pasar Beringharjo, mencari-cari celah diantara lautan manusia untuk tetap melaju. Beberapa meter kemudian, perempuan itu berbelok kesebuah gang.

Beberapa anak kecil sedang berlari memegang Juz Amma. Seorang kakek keluar mengendarai sepeda onthel tua dari pintu samping sebuah pabrik batik rumahan.

Perempuan itu berhenti berlari dan mengobrol dengan kakek itu sebentar lalu masuk kedalam pabrik batik. Abdil mengikuti perempuan itu. Ia berjalan menuju pabrik batik.

"lho? mas mau mengambil pesanan yo?"

Abdil terdiam memandangi perempuan itu. Matanya terlihat sedikit merah seperti habis menangis.

"mas?"

"eh? Emm.. anu, saya baru mau pesan!"

"berapa kodi?"

"kodi? Ehh Bukan-bukan! Maksudnya, saya baru mau liat-liat batik.. buat perbandingan harga."

"oalah! Yo wis mas, silahkan masuk."

Didalam, ada beberapa ibu-ibu sedang membatik dan seorang pria sedang mencelup batik kedalam sebuah drum besar.

Ruangan pabrik batik ini tidak terlalu besar, atap pabrik rumahan ini tidak dilapisi internit. Genteng tanah liat terlihat dan sisi-sisi antar genteng dibiarkan tidak rapat, cahaya lebut matahari menyembul dari atas membuat suasana begitu lembut.

Perempuan itu berjalan diantara kain batik yang tertiup angin, menuju sebuah pintu. Abdil mengikutinya berjalan sampai sebuah teras rumah yang luas dengan dua pohon rindang didepannya.

"silahkan duduk mas. Oh iya, nama mas siapa toh? Eh? Abdil?"

perempuan itu membaca name tag pada seragam Abdil.

"iya, Abdil."

"nama saya Rasmi, lengkapnya Bhanurasmi. kata almarhum bapak saya, artinya matahari."

Rasmi berkata sambil tersenyum.

Sejak perkenalan itu, senyuman Rasmi bak mentari yang menyinari hati Abdil. Kini waktu pesiar menjadi saat yang paling ditunggu-tuggu oleh Abdil.

Kemana lagi kalau bukan ke pabrik batik? Menemui siapa lagi kalau bukan menemui Rasmi?

Kota Jogja Saat Pesiar (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang