6. Rasmi

5.6K 488 0
                                    

Beberapa minggu berikutnya, tidak ada kegiatan di pabrik batik. Abdil tidak tahu soal ini. Ia pergi pesiar menuju pabrik batik. Namun sesampainya di pabrik batik, tidak ada seorang pun disana.

Pintunya pun terkunci.

Saat memutari pabrik, didepan teras ia melihat sosok laki-laki tengah duduk dikursi. Cahaya teras itu remang-remang, Abdil menghampiri sosok itu.

"Mbah Gus?"

"iyo, leh?"

"Mbah, pabriknya sudah tutup?"

"pabriknya memang tutup sejak dua hari yang lalu, leh."

Mbah Gus mempersilahkan Abdil duduk.

"lho? Memangnya kenapa Mbah?"

"Mamaknya Rasmi meninggal, leh.. memang sudah sakit-sakitan sejak tahun yang lalu."

Abdil dan Mbah Gus hanya terdiam sesaat. Hanya ada Rasmi yang ada dipikirannya kini. Abdil segera bergegas menuju rumah Rasmi. Namun sesampainya disana, tidak ada siapapun. Pintunya terkunci dan seluruh lampu didalam rumah mati.

Abdil kemudian berpikir sejenak. Mungkinkah? Suatu hal terbesit dalam pikiran Abdil. Ia kemudian bergegas menelusuri pasar Beringharjo dan jalanan yang biasa Rasmi lewati, sambil berlari.

Ditengah senja, ditengah angin yang bertiup, ditengah kesedihan yang begitu menghancurkan jiwanya berkeping-keping. Rasmi berlari sambil menangis. Abdil berlari untuk menyusul Rasmi.

Ditengah nafasnya yang terengah-engah, Abdil memanggil Rasmi.

"Rasmi! Tunggu!"

mendengar ini, Rasmi bimbang. Hatinya mengatakan untuk berhenti namun pikirannya mencegahnya. Abdil berlari lebih kencang hingga akhirnya dapat menggapai tangannya Rasmi.

"lepaskan Mas!"

"Rasmi, lihat aku Ras!"

Nafasnya Rasmi terdengar sesak tidak beraturan.

"bukan seperti ini caranya untuk meredam emosi dan rasa kecewa. Menyiksa dirimu seperti ini bukan jalan keluarnya, Ras."

"tau opo kamu Mas? Tau opo? Apa kamu pernah merasa kecewa dalam hidupmu?! Kamu ndak akan ngerti Mas!!

Ayahku masih hidup. Sehat wal afiat. Sejak aku kecil, Mamak sudah sakit-sakitan. Ayah pergi meninggalkan kami dan menikah dengan wanita lain.

Sejak itu, aku dan Mamak mencoba berjualan gudeg di Malioboro. Namun usaha kami gulung tikar karena tersebar fitnah bahwa penyakit Mamak itu menular dan gudeg yang Mamak jual akhirnya ndak laku. Tidak lama setelah itu Mamak terserang stroke.

Untuk sesuap nasi sehari-hari saja wong susahnya minta ampun, Mas! Setelah itu aku bekerja sebagai reseller batik keliling hingga akhirnya membuka pabrik batik untuk menghidupi Mamak dan aku.

Gadis-gadis seusiaku menikmati kuliah, mencari ilmu, menambah pengalaman dan hidup serba mudah. Sedangkan aku hanya bisa bermimpi untuk kuliah dan harus tertatih untuk mencari nafkah.

Sejak itu juga.. aku melampiaskan emosi dengan berlari. Berlari sekencang-kencangnya sampai dada ini sesak, sampai jatung ini berdetak dengan cepat sampai detaknya terdengar ditelinga dan sampai kaki ini tertasa begitu sakit hingga tak mampu lagi berjalan.

Sekarang, entah mau kemana hidup ini aku jalani. Satu-satunya alasan aku untuk terus bekerja keras meneruskan hidup, telah pergi."

"kamu salah Ras."

Abdil melepaskan tangannya Rasmi. Mata mereka bertemu. Rasmi dipenuhi tanda tanya mendengar perkataan Abdil.

"aku hanya tinggal bersama kakak laki-laki dan kakak perempuanku. Kedua orangtuaku telah lama meninggal. Dulu, aku juga melampiaskan emosi itu dengan kenakalan saat SMA. Aku hancur Ras.

Saat itu aku pernah berpikir bahwa tidak ada lagi masa depan untukku.

Namun gertakan dari kakak laki-lakiku menimbulkan kesadaran dari dalam hatiku. Bukan masalah apa yang telah terjadi, tetapi bagaimana cara menyikapinya dan segera berbenah untuk kedepan.

Kita bukan hidup dimasa lalu atau hidup untuk saat ini saja. Jika terus mengingat kekecewaan itu, luka didalam hati tak akan bisa sembuh."

Rasmi terdiam mendengar perkataan Abdil.

"maaf Ras, aku harus kembali ke kesatrian. Minggu depan, aku akan kerumahmu kalau boleh?"

"tidak perlu Mas."
Abdil diam, berdiri memandang Rasmi.

"aku akan menjual rumah itu, terlalu besar untuk kutinggali sendiri. Aku ingin merombak pabrik agar ada tempat untuk aku tinggal.

Lagian, akan lebih mudah mengurus bisnis kalau aku tinggal di pabrik. Ya toh?"

Rasmi mengakhiri perkataanya dengan senyuman yang sehangat mentari. Bedanya, kedua matanya sedikit bengkak akibat menangis. Namun bagi Abdil, pesonanya tidak berkurang sedikitpun.


Kota Jogja Saat Pesiar (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang