Rasmi dan Endah sedang menelpon Mbok Ajeng saat pintu kamar inap diketuk dan terbuka. Abdil datang bersama sepupunya. Endah menyambut mereka dan menyiapkan dua bangku disamping ranjang Rasmi.
“silahkan duduk, kita abis nelfon Mbok Ajeng.”
Endah berkata memecah keheningan.
“gimana kabarnya si Mbok? Sehat kan?” Abdil bertanya.
“Alhamdulillah, sehat!”
“kesini naik opo toh, Arini?”
“biasa Mbak, order ojek online hehe..”
“yo wis, saya keluar sebentar ya! Mau ke ATM.”
“iya Mbak.”
Keheningan kembali terjadi setelah Endah pergi. Rasmi terdiam di ranjang sambil memandang selang infusan yang masih menempel di tangannya.
Abdil melirik Arini dan memberi isyarat agar dia berbicara, menjelaskan.
“Mbak Rasmi.. sebelumnya saya minta maaf.. kalau saya ikut campur, nama saya Arini. Ibu saya dan Almarhumah Ibunya Bang Abdil itu kakak beradik.
Saat kecalakaan itu terjadi, saya sudah order ojek online di Mcd tetapi ojek online yang sudah saya pesan tiba-tiba nelpon dan tidak bisa mengantar.
Kemudian saya telpon Bang Abdil untuk minta tolong diantarkan sampai pertigaan Salabenda, disana saya akan bertemu dengan pembeli paket hampers wisuda yang saya jual online.
Belum sampai disana, ternyata pembelinya sudah sampai Masjid At-Taqwa. Jadilah saya minta tolong Bang Abdil untuk berhenti didalam parkiran Masjid.
Kalau tidak percaya, ini ada foto saat pesta perkawinan Kakak perempuan saya tujuh tahun silam di Padang. Sebelah kiri itu ada Bang Abdil bersama keluarganya. Nah itu, saya dan Ibu saya.”
Rasmi melihat foto yang diberikan oleh Arini. Terlihat Abdil yang baru menginjak usia remaja dan disisi lain, ada Arini yang baru berumur sekitar sepuluh tahun.
Kemudian ia melirik Abdil yang sedang menatap keluar jendela dan mengembalikan foto itu kepada Arini.
“aku berharap, dengan penjelasan ini.. kesalah pahaman itu hilang, Mi.”
Paham, Arini pergi meninggalkan dua hati itu. Memberikan ruang agar mereka berdua dapat menyelesaikan permasalahan hubungan mereka.
Untuk beberapa waktu, hanya ada keheningan diantara mereka. Lalu Abdil berjalan menjauhi jendela dan mendekati Rasmi yang terbaring diatas ranjang rumah sakit.
“kepala mu.. masih pusing?”
“sedikit.”
Abdil duduk dikursi sebelah Rasmi. Ia menggenggam tangan kanan Rasmi. Kali ini, Rasmi membiarkan Abdil menggenggam tangannya.
“jangan suka lari-larian lagi, ya..”
Rasmi tertawa mendengarnya. Ingat karena mereka bertemu saat Rasmi sedang berlari.
“kalau aku ndak lari, kita ndak bisa ketemu Mas.” kali ini Abdil yang tertawa.
“Rasmi.. kalau mau tahu.. bukan cuma kamu yang menahan rindu. Setelah pertemuan terakhir kita, aku melewati banyak hal untuk sampai disini. Saat sasuhku bersantai-santai, bertemu dan memecah rindu dengan kekasih mereka.. aku bisa apa?
Padahal saat itu aku tidak sepenuhnya hilang dan jauh darimu. Aku berada dekat denganmu. Tapi.. aku belum siap bertemu denganmu. Aku belum mampu bertemu denganmu.
Rasmi, ada satu hal yang perlu kamu tahu.."
Rasmi tidak berkata apapun. Ia terdiam, lekat memandang Abdil. Abdil diam sejenak. Padangan mereka terkunci. Untuk beberapa saat, mereka hanya terdiam dan saling tatap.
Mereka tidak memerlukan kata-kata manis untuk mengungkapkan cinta dan kerinduan. Hanya dengan menatap satu sama lain, cinta terajut kembali dan rindu terobati. Kemudian Rasmi tersenyum.
"Aku selalu ingat senyumanmu dan itulah yang selama ini membuatku mampu bertahan. Karena aku tahu, ada dirimu yang akan selalu menunggu dan menyambutku kelak.”
Rasmi membelai wajah Abdil dengan lembut.
“janjimu sudah kau tepati, Mas. Sekarang dan sampai kapanpun waktu berjalan, aku akan selalu menunggu dan menyambutmu.”
Abdil memeluk Rasmi erat.
“tapi, antara sekarang dan nanti ada bedanya Mi..” Rasmi melepas pelukan Abdil.
“opo iku Mas?”
“sekarang, kamu menyambutku memakai baju biasa. Nah, nanti kamu akan menyambutku dengan seragam PIA Ardhya Garini! Hehehe.”
Rasmi menatap Abdil kosong.
“Pia.. pia opo?”
“hahahah kamu ini Mi, kenapa acuh sekali dengan dunia militer sih? Padahal calon suamimu ini kan tentara!”
Rasmi hanya tersenyum malu mendengarnya.
“oh iya, katanya Endah kamu dari kemarin enggak mau makan? Kenapa?”
"Mana bisa aku makan! Makan hati iya!"
"Hahaha lagian cemburu kok sama Arini! Nanti tahu aslinya dia, kamu pasti nyesel."
"Loh, kenapa?"
"Dia itu chili-chilian Bogor.."
"Pedes toh, Mas?"
"Level 100!" Rasmi memukul lengan Abdil.
"Jahatnya!"
Ia kemudian membantu Rasmi untuk duduk, menaruh bantal untuk Rasmi bersandar dan mengambil nampan yang berisi makan malam untuk Rasmi.
“ayo aaaaaa..”
“baca do’a dulu Mas..”
“Bismillahirohmanirrahim.. Allahumma Ba-”
“ya ndak perlu keras-keras begitu, Mas! kayak anak kecil aja!”
Rasmi berkata sambil tertawa kecil. Akhirnya, senyuman itu kembali. Abdil akan melakukan apapun demi senyuman itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kota Jogja Saat Pesiar (TAMAT)
General FictionAda pemandangan yang tidak biasa saat Abdil melihat keluar dari bis IDAFA dikala pesiar. seorang perempuan berlari kencang. Entah sedang dikejar atau mengejar. Pada awalnya, Abdil hanya mengira mungkin perempuan itu sedang terburu-buru. Ternyata tid...