Chapter 10 - Jean dan Mimpi

455 59 3
                                    

Jean membuka matanya. Sejenak ia diam, bingung kenapa ia terbangun di tengah-tengah hutan-sampai akhirnya ia ingat kalau ia telah meninggalkan rumah di hari sebelumnya, bersama bawahan ibunya.

Ia perlahan bangun dan meregangkan tubuhnya yang pegal karena terlalu lama menunggang kuda, kemudian berdiri dan mencari sumber air. Setelah beberapa lama berjalan, ia menemukan sebuah sungai kecil.

Setelah membasuh wajah, Jean terpaku menatap pantulannya di permukaan air. Memikirkan kejadian kemarin. Ia akan menjadi seorang raja. "Yang benar saja," ucapnya. Ia kemudian berbaring di tepi sungai.

Jean tidak pernah melihat wajah ayahnya, atau tinggal di istana. Ia hanya tahu ayahnya mati karena satu dari bawahannya memberontak-si raja yang memerintah saat ini-dan ibunya kabur sesaat setelah peristiwa itu terjadi, ketika ia masih berada di dalam kandungan.

Dan sekarang orang-orang ini datang, lalu...

"Pangeran?"

Sebuah suara membuyarkan lamunannya. Jean segera bangun, mendapati Elric berdiri di belakangnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Elric, kini berjalan mendekat.

"Tidak. Tidak apa-apa." Jean berdiri dan membersihkan debu yang menempel di baju dan celananya. "Apa kita akan melanjutkan perjalanan sekarang?" tanyanya.

Elric mengangguk. "Ayo, Yang Mulia. Kita harus segera sampai di Hutan Isyr," ucapnya, mengantar Jean kembali ke tempat mereka singgah, "banyak yang harus kau pelajari."

Jean hanya diam mengikuti Elric, mengepak barang-barangnya dan menggantungkannya ke pelana. "Berapa lama lagi kita akan sampai?"

"Dua atau tiga hari lagi-kurasa. Jika kita tidak bertemu hambatan." Elric menaiki kudanya. "Ayo, Pangeran."

Jean mengerutkan alis. "Bisakah kau berhenti memanggilku begitu? Rasanya sangat aneh," katanya. "Cukup panggil aku Jean."

"Itu terdengar tidak sopan bagiku, Yang Mulia."

"Oh, yang benar saja, lupakanlah sikapmu itu," ujar Jean, sedikit gusar. "Aku sedikit muak."

Elric terkekeh. "Bertahanlah, Yang Mulia. Perjalanan kita masih panjang."

Jean hanya menghela napas berat dan naik ke kuda, lalu mereka pun melanjutkan perjalanan. Mereka kini telah keluar dari hutan dan melewati bukit. Laut dan perkotaan dapat terlihat dari atas bukit, dan Jean memandangnya takjub.

Baiklah, Jean rasa meninggalkan rumah bukan sepenuhnya ide yang buruk. Sebuah pertanyaan terbesit di pikirannya. "Hei, seperti apa ibu kota itu?" tanyanya pada Elric. "Apakah ibu kota sangat besar seperti yang Ibu bilang?"

Elric mengangguk. "Ibu kota sangatlah besar, Yang Mulia," balasnya, "banyak bangunan besar, pedagang, rumah para bangsawan, dan tentunya istana."

"Jadi, setelah semua ini selesai, kita akan ke sana?"

"Kurasa begitu."

Jean terdiam sebentar. "Hei, dulu kau bekerja pada ayahku, 'kan?" tanyanya lagi. Elric hanya tersenyum kecil.

"Sampai sekarang pun aku masih melayaninya dan keluarganya, Yang Mulia."

"Ayah... orang yang seperti apa?" lanjut Jean, menundukkan kepala. "Ibu hanya bilang ia mirip denganku, tapi tak pernah memberitahuku yang lainnya." Dari nada bicaranya, Elric tahu ada sepercik kesepian di diri Jean.

"Kau tahu? Ayahmu adalah orang yang periang dan santai," ujar Elric. "Sebagai raja ia memimpin banyak rakyat dan mengurus banyak hal, tapi ia terlihat tak terbebani sama sekali." Jean diam dan mendengarkan Elric dengan seksama. "Yah, kadang karena sifat santainya itu ia bisa jadi pemalas. Tapi ia orang yang sangat baik," lanjutnya.

"...benarkah?" tanya Jean.

Elric mengangguk. "Ia sangat peduli kepada semua bawahannya," kenang Elric, "...bahkan pada Eadred."

Keheningan mengisi suasana di antara mereka berdua. "Hei, apa kau tahu mengapa ia membunuh Ayah?" tanyanya. "Kau bilang Ayah memperlakukannya dengan baik. Mengapa ia malah membunuh Ayah?" Jean mencengkeram celananya dan menggertakkan gigi, suaranya bergetar.

"Kurasa ia marah karena Raja tidak menjadikannya salah satu dari kami," tutur Elric.

Jean menatapnya tak percaya. "Hanya karena itu?" Elric membalasnya dengan sebuah anggukan.

"Aku... juga tak begitu mengerti. Ia adalah anak yang menyeramkan." Elric mengangkat kedua bahunya. "Kenapa kau tiba-tiba menanyakannya, Yang Mulia?"

"Tidak, tidak apa-apa." Jean menggelengkan kepalanya dan mengalihkan pandangan ke arah hamparan bukit. "Aku... senang aku bisa tahu lebih banyak tentang ayahku."

***

Semua orang sudah terlelap kecuali Jean yang tidak bisa tidur. Ia masih belum terbiasa tidur di tanah terbuka, walaupun ia berusaha untuk membiasakan diri dan membuat dirinya merasa nyaman. Ia menatap hamparan bintang yang tersebar di langit, mengingat kembali cerita Elric.

"Ayah, jika kau dengar aku, aku sebenarnya tak tahu apa yang harus kulakukan," bisiknya. "Orang-orang ini ingin aku menjadi raja, sementara aku tak tahu apa-apa soal rakyat atau pemerintahan. Apa yang harus kulakukan, Ayah?"

Ia perlahan bangun dan duduk, dengan kepala masih menengadah ke langit. "Aku... tak pantas untuk menjadi raja. Aku hanya laki-laki biasa yang tinggal di desa di tepi pantai yang tinggal bersama ibunya. Bantulah aku, Ayah," lanjut Jean.

Hanya suara jangkrik yang membalas Jean. Jean mengacak rambutnya putus asa, kemudian kembali membaringkan badannya dan memejamkan mata, berusaha untuk tidur. "Selamat malam, Ayah, Ibu," lirihnya, dan setelah penantian yang cukup lama akhirnya ia pergi ke dunia mimpi.

***

Jean berdiri di sebuah ruangan kosong yang sangat luas. Ia menoleh ke sekeliling, namun tidak mendapati apa-apa. Semuanya berwarna putih. Namun tak lama kemudian, dari kejauhan seseorang muncul dan berjalan perlahan ke arahnya. Jean mengambil selangkah ke belakang, merasa was-was. "Siapa di sana?" tanyanya.

Sosok itu semakin dekat dengan Jean, dan wujudnya terlihat lebih jelas. Ia adalah seorang wanita cantik dengan rambut pirang yang sangat panjang, mengenakan gaun putih dan sebuah mahkota. Cahaya terpancar dari tubuh wanita itu. Ia tersenyum ke arah Jean, dan Jean menyadari sesuatu-wanita itu memiliki telinga lancip.

"Siapa kau?" Jean gemetar ketakutan.

"Jangan takut, Anakku," ucap wanita itu, mengulurkan tangannya ke arah Jean dan perlahan memeluknya. "Semua akan baik-baik saja. Tak ada yang perlu kau khawatirkan," bisiknya sambil mengelus rambut Jean lembut. Semua ketakutan Jean hilang. Ia merasa hangat.

"Kami menunggumu di hutan. Datanglah, Anakku," bisik wanita itu lagi.

Jean merasa semua bebannya terangkat. Dadanya terasa lebih lapang. Wanita itu seakan-akan membebaskannya dari segala pikiran yang membebaninya-walaupun terasa sedikit menyeramkan, namun Jean bersyukur akan kedatangannya. "Siapa... kau?"

"Bintang akan memandumu. Roh akan menjagamu. Kau dan semua teman seperjalananmu ada di bawah perlindunganku." Wanita itu meregangkan pelukannya dan mengelus pipi Jean. "Ingatlah, Anakku. Di mana pun kau berada, orang-orang yang kau sayangi akan selalu mendampingimu." Ia memberikan senyuman terakhir sebelum ia perlahan menghilang.

***

Jean tersentak bangun dari tidurnya. Hari sudah pagi, dan semuanya telah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Ia terengah-engah, menahan kepalanya. "Yang Mulia?" Klein berjalan mendekatinya. "Ada apa?"

"A-ah." Jean cukup terkejut dengan kedatangan Klein. "Tidak, tidak apa-apa." Ia kemudian beranjak bangun dan membersihkan bajunya dari debu. "Apakah kita akan melanjutkan perjalanan sekarang?"

"Ya, Yang Mulia. Ah-jika kau mencari Elric, ia sedang mengisi perbekalan air," jawab Klein. "Saya permisi sebentar, Yang Mulia," sambungnya, kemudian berjalan ke arah kudanya dan mengikatkan barang-barang ke pelana.

Jean mengatur napasnya. Setelah ia merasa sedikit lebih tenang, ia mulai mengemasi barang-barangnya dan mengikatnya ke pelana Elric. Wanita itu... ia bilang ia menungguku di hutan. Apa hutan yang dimaksud adalah hutan tujuan kami? Jean terdiam.

Aku harus mencari tahu.

Tale of Distant Land - Land of the Fairies [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang