Jean dengan susah payah berusaha menghalau ayunan tongkat kayu Elric. Ia harus belajar menggunakan senjata—kata Elric—sementara benda tajam yang selama ini ia gunakan hanyalah pisau dapur untuk menguliti ikan.
Elric dengan cekatan mengayun dan menyabetkan tongkat kayunya ke arah Jean, seperti saat ia melawan musuh—mengenai beberapa bagian tubuh Jean yang tidak terlindungi, pundak, pinggang, lutut, apa saja.
Akhirnya Elric menyandung kaki Jean dengan kuat menggunakan tongkat kayunya, membuat Jean terjatuh dengan debuman keras. "Aduh!" seru Jean, meringis sambil mengusap punggungnya yang terasa sakit.
Elric menghela napas. "Bukan maksudku menghina, tapi kemampuan bertarungmu sangat payah, Yang Mulia," komentarnya.
"Tentu saja," balas Jean, mendelik sarkastik, "aku bukan ksatria seperti kalian yang menghabiskan waktu untuk berlatih ilmu pedang dan semacamnya."
Elric tertawa kecil, mengulurkan tangannya untuk membantu Jean berdiri. "Jangan khawatir, Yang Mulia. Kami akan mengajarimu cara bertarung," ucapnya. Jean menyambut tangan Elric dan berdiri perlahan.
Klein berjalan menghampiri mereka selang beberapa detik kemudian. "Yang Mulia, Elric, sudah saatnya kita melanjutkan perjalanan," katanya. "Semuanya sudah bersiap-siap untuk berangkat," lanjut Klein.
"Baiklah. Terima kasih, Klein," tutur Elric, mengisyaratkan Jean untuk ikut dengannya membereskan barang-barang.
Jean memasukkan selimut ke dalam ransel, lalu mengenakan jubahnya. Ia memanggul ransel itu di punggung, sementara Elric mengikatkan tasnya ke pelana. Tak lupa ia menyematkan pedang di pinggang kiri, dan sebuah belati di kanan. "Sudah siap, Yang Mulia?"
Jean mengangkat kedua bahunya. "Aku tidak punya pilihan lain selain untuk selalu siap," jawabnya, mengikuti Elric yang memanjat naik ke punggung kudanya.
Sudah tiga hari sejak mereka meninggalkan desa. Jean sibuk membaca peta—Elric memberikan peta itu padanya agar Jean berhenti bertanya sudah di mana mereka sekarang—dan menandai tiap tempat yang telah mereka lewati. Ia kemudian menatap sebuah gambar hutan yang dibuat sedikit gelap dari gambar hutan lainnya. "Hutan Svart?" tanyanya.
"Sebentar lagi kita akan memasukinya, Yang Mulia," balas Kai, yang kebetulan mendengar pertanyaan Jean.
Bibir Jean hanya membentuk 'o' setelah mendengar jawaban Kai, kemudian ia mengalihkan pandangannya ke peta lagi. Sebuah pertanyaan hinggap di benaknya, pertanyaan yang mungkin tak terlalu penting, namun tidak bisa ia hilangkan. Kenapa gambarnya dibuat lebih gelap?
***
Mereka kini sampai di hadapan sebuah hutan yang sangat lebat. Daun pohonnya berwarna hijau gelap keabu-abuan, dahan-dahan serta kabut yang berkumpul di sekeliling hutan membuat suasana hutan sedikit menyeramkan.
Jean melihat ke sekeliling ketika mereka memasuki hutan itu. Hutan itu gelap tanpa cahaya matahari, seakan-akan dedaunan gelap itu menelan sinar matahari yang mencoba menembus ke hutan. Jean mengusap tengkuknya—merinding. Tentu saja ia merasa gelisah.
"Apakah ini Hutan Svart?" tanyanya.
Elric hanya menganggukkan kepalanya singkat.
Jean kembali melihat ke sekeliling, sebelum menyadari Elric yang menyiapkan tangannya di gagang pedang—begitu juga Seth, Klein, Claes dan yang lainnya—mereka menggenggam senjata masing-masing. Hal itu membuat Jean penasaran, dan was was.
"Untuk apa kalian menyiapkan tangan kalian di senjata?"
"Oh, ini hanya untuk jaga-jaga, Yang Mulia," jawab Elric.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tale of Distant Land - Land of the Fairies [ON HOLD]
FantasyAter dan sang naga Arkan sudah dikalahkan. Lyon dan teman-temannya melanjutkan perjalanan mereka menuju Arfeim, benua para peri, serta memulai pelajaran Lyon soal sihir. Namun Eadred mengirimkan empat orang jenderal terkuatnya untuk melanjutkan perb...