Chapter 14 - Hutan Para Elf

485 62 0
                                    

Faelon terhempas hingga menabrak sebuah batang pohon besar. Ia mencoba bangkit, namun luka sayat besar di kedua kaki dan tusukan di perutnya tidak memungkinkannya untuk kembali berdiri.

Ia merasa mana-nya dikuras habis, padahal ia hanya menggunakan beberapa mantra sihir. Ia kemudian menoleh ke arah laki-laki asing yang membawa tongkat—Pasti ini ulahnya.

Ketiga laki-laki lain memojokkannya di pohon. Faelon menatap elf-elf bawahannya. Mereka semua telah tergeletak tak bernyawa. Tak ada yang tersisa untuk melaporkan keadaan ke istana. Keempat orang di hadapannya lah yang membantai mereka. Faelon mengingatnya dengan jelas.

Salah satu dari mereka berjalan mendekati Faelon—ia memanggul sebuah sabit besar. Dari penampilannya, ia masih terlihat sangat muda. Mungkin seumuran Lyon. Mata kekuningannya menatap Faelon tajam, ia menyeringai dan mengangkat sabitnya, menusuk paha Faelon.

"Aaah!"

Faelon mengerang. Ia tak tahu siapa mereka. Keempat orang ini, yang dapat membantai sekumpulan elf—bahkan membuatnya terluka parah, mengingat dirinya adalah seorang pangeran. Mereka monster.

"Sebaiknya kau jawab jujur, Pangeran," ucap si laki-laki sabit sambil menggerak-gerakkan sabitnya, memperdalam tusukannya di paha Faelon. Faelon berusaha menahan sakit yang ia rasakan, namun erangan kembali lolos dari mulutnya. "Atau aku akan menyiksamu secara perlahan-lahan... lalu membunuhmu." Laki-laki itu menyeringai. Faelon menatapnya ngeri.

Dia monster.

"Maugrim." Laki-laki lain melangkah ke depan, ke arah si laki-laki sabit, mengisyaratkannya untuk berhenti. Rambutnya menutupi setengah wajahnya, dan terdapat bekas luka yang cukup panjang di mata kirinya. "Jangan bertindak yang tak diperlukan."

"Oh, ayolah, Kapten Dreizehn," ucap si laki-laki sabit—yang dipanggil Maugrim itu. "Aku butuh hiburan."

Dreizehn tak menghiraukannya, ia berjongkok di depan Faelon. "Biar kutanya padamu sekali lagi," ucapnya, nada bicaranya datar, namun terdengar mengintimidasi. "Ke mana perginya Bocah Pembunuh Naga dan Penyihir Hitam Kelam?"

Faelon menggigit bagian bawah bibirnya. "Sampai mati pun aku tidak akan memberitahu kalian," balas Faelon.

"Jika kau tak mau memberitahunya," balas Dreizehn, kembali berdiri, "maka dengan terpaksa kami akan melakukannya dengan kekerasan." Dreizehn menoleh ke arah kedua rekannya di belakang. "Abel," panggilnya.

Laki-laki yang membawa tongkat melangkah maju. "Urus dia," perintah Dreizehn.

"Baiklah," balas si laki-laki tongkat—Abel. Ia mengulurkan tangan ke atas kepala Faelon dan membaca mantra.

Faelon merasa kepalanya dibuka secara paksa. Sihir itu mengorek pikiran dan ingatannya dalam-dalam tanpa ampun, membuatnya berteriak kesakitan. Tolong. Siapapun. Kumohon, tolong aku. Ayah, Syrune...

Akhirnya mantra itu terlepas dari dirinya. Maugrim menarik kembali sabitnya, sementara Faelon terkulai lemas ke tanah. Tatapannya kosong. Kesadarannya mulai menjauh.

"Mereka pergi ke Raymere," ucap Abel. "Noir, kau yang akan memimpin jalan. Kau berasal dari sana, bukan?" ucapnya pada laki-laki terakhir dengan rambut panjang yang diikat. Laki-laki yang dipanggil Noir itu hanya mengangguk singkat.

Dreizehn kembali berlutut di samping Faelon, menggenggam beberapa helai rambut Faelon dan perlahan menariknya, sehingga kini wajah Faelon dan Dreizehn berhadapan. Hal terakhir yang diingat Faelon sebelum tak sadarkan diri adalah Dreizehn yang berkata, "Anjing Raja telah datang pada kalian. Empat Jendral Besar sebentar lagi akan menangkap buruan mereka."

Tale of Distant Land - Land of the Fairies [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang