8

264 36 0
                                    

Segerombolan pria turun dari motor mereka. Salah satu pria tersebut masuk ke dalam toko. Dia menghampiri Tonks dan menatapnya dengan bengis. “Ini udah dua tahun!”

Lelaki itu menjambak rambut Tonks sambil melemparkan sumpah serapahnya. Entah apa yang sudah Tonks perbuat sampai lelaki ini begitu marahnya. Draco yang tadinya hanya bisa terdiam ketakutan, akhirnya melerai mereka berdua. Ia tak tahan melihat Tonks disakiti seprti itu.

“Berhenti! Bapak tega banget ya sama perempuan!”

“Kamu cuma pelanggan kan? Nggak usah ikut campur dan pergi dari sini!”

“Saya nggak bisa pergi kalau ini menyangkut Tante saya.”

Pria tersebut akhirnya melepaskan cengkeramannya pada Tonks dan berbalik menyeringai ke arah Draco. Ia langsung meninju wajah Draco dan memukulinya. “Emangnya kamu bisa apa? Asal kamu tau ya, tante kamu itu udah nunggak dua tahun sama geng saya!”

“Nunggak? Emang tante Tonks... nunggak apa?” tanya Draco terbata-bata. Badannya sudah
lebam-lebam.

“Bayar pajak keamanan, lah! Di daerah sini rawan kejahatan dan saya beserta kelompok saya
bertugas menjaga keamanan disini. Tapi tante b**ingan kamu ini nggak mau bayar selama dua tahun!”

Draco hendak tertawa saat ini jika saja sekujur tubuhnya tidak terasa sakit. Alhasil ia hanya
meringis tertahan mendengar penjelasan konyol preman ini. “Pajak keamanan? Daerah
kekuasaan? Ha, jaman segini masih eksis aja, pak... berapa...”

“Apanya?”

“Berapa yang harus dilunasi? Biar saya... yang atur...” ujar Draco kesal. Pria yang barusan
menghajarnya ini memang tidak punya kapasitas otak yang memadai.

“Emang kamu punya duit 36 juta, hah?” ejek pria itu. Belum tahu saja dia, kalau yang sedang
diajaknya berdebat ini adalah putra bilyuner Tengku Lucius al-Malfoy.

“Cih, segitu doang.” Draco terkekeh pelan. “Mau cash atau transfer?”

“Transfer.” Jawab si preman agak bingung. Draco pun menyerahkan kartu Black Card miliknya.

Preman itu pun semakin bingung lagi. Namun akhirnya ia langsung menggesek kartu tersebut
pada alat EDC yang dibawanya.

“Nih, sekarang hutang kamu lunas.” Ujar si preman ke arah Tonks yang meringkuk gemetar. Dia melemparkan Black Card itu ke arah Draco.

“Heh, pak preman. Mulai sekarang kamu nggak usah sok melindungi toko ini. Saya yang akan kasih pengawal pribadi.” Draco memandang segerombolan preman tersebut dengan tatapan
tajam. Tanpa banyak kompromi, mereka pun mengangguk kaku lalu segera pergi dari sana.

Tonks berlari menghampiri Draco yang berusaha duduk. Ia menangis dan menggenggam tangan Draco erat-erat. “Kamu ngapain sih pake belain tante segala? Tante belum punya uang sebanyak itu buat nebus.”

“Eh, tante...nggak usah, nggak papa kok. Lagian daripada tante diteror sama mereka tiap hari.”
tutur Draco sambil menyunggingkan senyumnya. Senyumannya yang paling tulus “Aku udah nganggep tante sebagai keluarga aku. Tante nggak usah repot-repot buat balikin semua ini.”

Tonks tersenyum penuh terima kasih. Kalau saja kondisi Draco tidak babak belur begini, mungkin sudah ia peluk dan cium selama seharian penuh. “Terima kasih banyak, Drake. Sekarang tante obatin dulu luka kamu, baru ketemu Hermione. Oke?”

Draco nyengir lebar dan mengacungkan jempolnya. “Oke, tante!”

🎬🎬🎬

Draco memegangi dadanya sembari bernafas dengan cepat. Tidak, dia tidak sakit jantung atau gara-gara perkelahian tadi.

Dia gugup.

Seumur hidupnya dia belum pernah segugup ini ketika hendak bertemu Hermione. Malahan ia sering nyelonong masuk ke rumah Hermione kalau kedua orang tuanya sedang bekerja.

Tapi sekarang, ia bahkan sudah berdiri di depan pintu rumah gadis itu selama sepuluh menit dan tak berani untuk memencet bel.

“Oh, come on, Drake. Lo kenapa jadi grogi gini, sih.” gumam Draco berusaha menyemangati
dirinya sendiri.

Draco akhirnya memencet bel sekali. Namun tidak ada jawaban. Mungkin saja ayah dan ibu Hermione masih bekerja karena ini baru pukul tujuh malam. Tapi apakah Hermione juga kebetulan sedang keluar?

“Mione... bukain pintunya, dong.” Seru Draco. Ia juga sudah lelah memencet bel berulang-ulang.

“Mione, gue tau lo di dalam. Bukain dong, gue pengen ngomong.” Draco mengintip jendela rumah yang tidak seluruhnya tertutupi oleh tirai. Di dalam sana memang tidak ada siapapun.

Sebenarnya tidak juga sih. Hermione memang ada di dalam sana, di kamarnya. Ia sedang duduk termenung di depan meja belajarnya. Dia ingin sekali melupakan seluruh kejadian hari ini dengan belajar. Sayangnya hal itu tidak mempan.

“Mione, gue mau minta maaf!”












Mione bukain dong pintunya :(
ntar bang Drake masuk angin

hehehe

PhotographTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang