You Were Mine (Harry Styles)

611 38 5
                                    

Soo, this one for xidcmurbx. Hope you like it. :)

"Baiklah, kurasa cukup untuk hari ini. Dalam beberapa hari sekolah sudah dapat melakukan pendaftaran, kuharapkan kalian sudah mulai mengerti apa-apa saja yang harus kalian ajarkan kepada anak didik kalian nantinya." Harry tersenyum melihat kekasihnya dengan serius mengajarkan sesuatu kepada teman-temannya untuk mengajar di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak autis. Ia memang akan selalu merasa bangga memiliki Taylor Swift sebagai kekasihnya.

"Hey, tired much?" Tanya Harry yang membuat Taylor terlonjak karena tiba-tiba memeluk pinggangnya. "Harry. Berapa kali harus kukatakan kalau kau hendak memasuki ruangan ini, sebaiknya kau mengetuk pintu dulu." Taylor mendengus kesal dan mencubit kecil lengan Harry, yang membuat pria berambut keriting itu meringis kesakitan.

"Hey, ayolah. Jangan marah. Aku hanya ingin memberi kejutan." Balas Harry. "Aku tidak marah, Harry. Hanya saja kau selalu begitu. Bagaimana kalau disini masih ada teman-temanku?" Tanya Taylor. Harry tersenyum setelahnya. "Kau malu kalau aku memeluk atau mengecupmu di depan teman-temanmu?" Tanya Harry yang sukses membuat pipi Taylor memerah. Ia hanya berharap rambut panjangnya dapat menutupi pipinya yang merona.

"Pipimu memerah. I take that as a yes." Jawab Harry sembari terkekeh. Memang tidak jarang teman-teman Taylor melihat kemesraan mereka yang membuat pria dan wanita manapun cemburu.

Namun mengingat sesuatu hal membuat senyuman di wajah Taylor lenyap. Ia akan kembali ke New York akhir pekan ini. Yang itu artinya ia tidak akan menjumpai Harry. Bahkan ia tidak akan bisa kembali ke Inggris karena ada banyak wilayah kecil yang harus ia datangi untuk membuka sekolah khusus anak autis.

Begini keadaannya, ayah Taylor adalah seorang aktivis sosial yang mengurusi orang-orang yang mengalami depresi, stress, bahkan anak-anak yang autis. Sama halnya dengan ayahnya, Taylor menganggap hal ini menyenangkan dan melegakan. Sehingga akhirnya ia memegang peran penting dalam aktivis ayahnya yang mengurusi anak-anak autis.

Ia sendiri mengadakan riset wilayah-wilayah mana saja yang memiliki populasi anak autis yang tinggi. Di Inggris, Lake District-lah salah satunya. Di Lake District ini ia bertemu dengan Harry Styles, ayahnya merupakan arsitek yang merancang bangunan sekolah sederhana ini.

"Hey, ada apa? Kau terdiam terlalu lama." Ujar Harry sebelum mengecup pipi kekasihnya dengan lembut. Taylor akan merindukan hal ini. Ia pasti merindukan masa-masa ini. Bahkan menurutnya ini adalah liburan musim panas yang paling berharga selama hidupnya.

Ia bahkan tidak pernah mengatakan ia akan pergi jauh kepada Harry selama hampir satu bulan mereka menjalin hubungan.

"Harry.. Aku akan pergi. Aku harus pergi." Suaranya parau. Ia merutuki dirinya sendiri karena suaranya parau. "Pergi? Maksudmu pulang? Kau tahu aku bisa mengantarmu." Harry tersenyum membalasnya. "Tidak, Harry. Bukan itu maksudku." Gadis blonde itu membuat Harry melepas pelukannya, ia berusaha memberanikan diri untuk menatap wajah—terutama mata hijaunya—lekat-lekat. "Aku.. Aku akan pergi. Jauh. Aku akan meninggalkan Lake District."

Sementara Harry hanya mengernyitkan dahinya, masih tidak dapat memproses kalimat kekasihnya dengan baik. "Harry, dari awal aku dan ayahku telah merencanakan hal ini. Aku akan singgah di beberapa tempat kecil yang memiliki populasi anak autis yang tinggi. Disitu aku akan mengarahkan teman-temanku untuk mengajar anak-anak autis yang ada." Jelasnya.

"You're not going to come back here?" Tanya Harry. Taylor menggeleng dan menunduk setelahnya. Ia telah kalah dari tekadnya untuk memberanikan diri melihat mata Harry yang telah menyiratkan sebuah perasaan kecewa. "Harry, I'm so sorry. I should've—"

"Berapa lama?" Tanya Harry memotong ucapan Taylor. "Berapa lama kau akan pergi?" Tanya Harry lagi. "Aku tidak tahu, Harry. Banyak sekali daerah yang belum kukunjungi." Jawab Taylor. Ia kembali menaikkan dagunya dan menangkupkan tangan pada wajah Harry. "I know it's hard for you, but it's hard for me as well. Aku bisa menelponmu, atau skype. Atau facetime. Apapun itu yang dapat membuat hubungan kita tetap berjalan, Harry."

"Tidak, Taylor. Bukan ini yang aku inginkan. I don't want you to promise me that thing, I want you to be here. With me." Kali ini giliran Harry yang berkata dengan suara parau. "I know. I want to. But I—" "Cant. I understand that." Harry berusaha tersenyum dan tidak egois. Ia mengerti semuanya tidak akan berjalan dengan baik.

"Harry.."

"It's okay. Anyway, aku tidak ingin bersikap egois. Jika kau harus pergi dan tidak kembali, pergilah." Harry tersenyum dan menghapus air mata yang mulai membasahi pipi kekasihnya.

"Everyone seem always said that true love is worth fighting for." Harry tersenyum menanggapi perkataan kekasihnya. "Mungkin kali ini bukan aku. You'll find him someday, eventually." Balasnya. "You know I love you, Taylor. Tetapi aku tidak akan menahanmu jika memang kau harus pergi. Dan tidak akan kembali lagi."

Harry kembali mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi kekasihnya. "Hey, sudahlah. I just need you to remember all those thing back there. I just need you to remember that you are the most precious thing that ever came to my life. I just want you to remember that this summer, you were mine. I was yours. I just need you to promise me that."

•••

Umm, this is kinda awkward because I'm not a Haylor shipper (no offense) but kalau ini ngga ada feelsnya, yaaaa I'm so sorry .xx

One ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang