Childhood Memories (Harry Styles)

1K 64 2
                                    

This is for Levineghfry! I'm sorry if it's not good enough. But I did my best to make it as perfact as I thought (at least this is kinda long imagine).

So, ENJOY!xx

Entah kenapa semua tempat yang kukunjungi hari ini memiliki kenangan bersamanya. Apapun itu bentuknya. Bagaimanapun itu. Kapanpun itu. Seakan memori bersamanya terputar begitu saja seperti film dokumenter.

Ya, dia; Harry Edward Styles.

Siapa yang tidak mengenal pria berambut keriting itu? Kurasa tidak ada—kalaupun ada, kalian pasti tipe remaja yang kurang update atau apatis.

Jadi, biar kuperjelas. Namaku Levine. Dan pria berambut keriting itu dulunya sahabat dekatku. Dulunya. Sekarang? Kami jarang sekali berhubungan—atau mungkin aku yang menjauhinya semenjak tersebarnya hubungan pria itu dengan presenter terkenal yang membuat hatiku hancur.

Bisa dibilang sejak berita itu muncul, sejak itu pula aku memutus semua akses yang memungkinkan ia menemukanku. Bahkan aku sampai memohon kepada kakekku untuk kuliah di kota lain. Yang kemudian aku berhasil pindah dan kuliah di Birmingham.

Namun entah mengapa aku mulai membenarkan kata penyesalan yang selalu datang di akhir—karena jika tidak namanya menjadi rencana, duh. Aku menyesali kenapa aku tidak mengatakannya sejak dulu bahwa aku memiliki perasaan lain untuknya.

Seperti sekarang, aku berhenti di seberang bakery tempat Harry bekerja dulu. Aku sering sekali beli roti disana dulu, dan Harry sangat senang menyambutku disana. Tanpa terasa bibirku menarikkan sebuah senyuman menatap bakery itu. Hanya menatapnya.

"Levine?"

Tidak.. Jangan bilang suara perempuan itu..

"Anne?"

Disinilah aku berhenti menguntit masa laluku, dan kembali kepada realita yang mungkin akan memaksaku untuk membuka kembali lembaran lama—atau malah memaksaku untuk membuang buku harianku dan membuat yang baru.

Who knows?

**

"Bagaimana kabarmu, Lev?" Tanya Anne. Sudah lama sekali aku tidak kesini. Kerumah Harry. Dan bercengkrama dengan ibu atau kakak perempuannya.

"Aku baik-baik saja, Anne. Bagaimana kabarmu dan Gemma?" Tanyaku kemudian, sengaja tidak menanyakan Harry karena dia pasti sedang tidak disini.

"Oh we're good. How's Birmingham?" Tanyanya kemudian. Ia menyusulku duduk tepat di hadapanku sembari menggenggam kuping cangkir dan memberikannya satu padaku.

"Thanks." Kataku pelan. "Uh.. I like it there." Aku mengangguk setelah meneguk teh buatan Anne.

"I see.. Aku mengetahuinya dari kakek dan nenekmu. Kau bahkan tidak sempat berpamitan pada kami. Tau-tau kau sudah berada disana; di depan bakery tempat bekerja Harry dulu." Ia terkekeh kemudian, aku hanya tersenyum. "It's quiet weird, huh? We used to know Harry Styles who worked at the bakery. And now he's a.. Superstar." Ia tersenyum dan pandangannya menerawang, seakan mengingat saat-saat dulu Harry masih seorang bocah yang bekerja di bakery, aku masih tersenyum.

"What makes you come back, Lev?" Seketika senyumanku lenyap. Mungkin jika Anne menanyakan pertanyaan "bagaimana kehidupanmu disana?" , atau "apakah kau sudah mempunyai kekasih?", aku masih bisa menjawabnya. Kalau ini?

"My grandparents of course, Anne. Aku merindukan mereka, terutama masakan grandma. You know, sejak kematian ibu dan ayahku, hanya mereka yang kupunya." Aku tersenyum pahit. Setidaknya aku berhasil menjawab pertanyaan itu tanpa membawa-bawa nama Harry.

"Apa bukan karena Harry?"

Shoot.

"Kau tahu, ia benar-benar tidak tahu harus menghubungimu kemana. Ia benar-benar panik saat kau pergi dari Chesire, Levine."

Double shoot.

"Anne, aku harus pulang. Aku.. Uh.. Kakek sudah menungguku. Ia minta ditemani menonton serial favoritnya. Lain waktu aku akan kesini lagi. Terima kasih atas tehnya, mom." Aku mencium pipinya kemudian mengambil jaketku dan melesat pergi dari pantry.

And there he is.

The famous Harry Styles.

"Lev—"

**

Entah kenapa ini sudah hari kelima sejak kepulangan sementaraku di Chesire, aku tidak kunjung keluar rumah lagi. Maksudku, biasanya bermain salju adalah favoritku bersama Harry.

Berbicara tentang pria itu, dia adalah alasan kenapa aku tidak kunjung keluar. Sekedar menyapanya, atau berbincang bersama Anne seperti yang kujanjikan tempo lalu.

Aku menghindar? Ya.

Aku pengecut? Sangat.

Aku egois? Tidak juga, itu wajar, menurutku.

"Levine, ada Harry mencarimu, nak. Sebaiknya kau temui dia. Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk menyembunyikanmu." Nenek yang sudah memakai piyama memasuki kamarku, mengelus rambutku dengan lembut.

"Apa aku harus menemuinya? Maksudku semalam ini?" Tanyaku.

"Temuilah dia. Harry terlihat berharap sekali untuk bertemu denganmu sejak dua setengah tahun lalu. Selesaikan apa yang perlu diselesaikan." Balas nenek. Aku menghela nafas berat.

Ayolah, Levine. Ini waktunya untuk berenti menjadi pengecut.

"Lev?"

"Fiiinneee." Grandma tersenyum dan mencium keningku. "Akan kubuatkan teh dan cokelat hangat untuk kau dan Harry." Ia bahkan masih hapal betul minuman favorit Harry sejak dulu; cokelat hangat buatan nenekku.

Aku berjalan menuruni tangga dengan.. Entahlah. Perasaan yang campur aduk? Aku hanya takut ketika bertemu dengannya lagi, aku malah kehilangan kendali dan memeluknya kemudian mengatakan apa yang seharusnya kukatakan mulai dulu.

GREP

Apa ini? Apa—atau siapa—yang baru saja menimpali—

Oh I see.. That curly boy hugged me, finally.

"Bagaimana kabarmu? I missed you, you know. Kau jahat sekali meninggalkanku tanpa pesan apapun, tanpa pamit, tanpa mengatakan apapun. Aku hampir gila dua tahun ini mencari keberadaan dan nomor telponmu. Aku hampir gila setiap kali melihat foto kecil kita yang selalu kubawa dan kusimpan di dompetku. Aku hampir gila membaca pesan-pesan konyol yang ada di ponselku dulu. Aku hampir gila karena... Aku merindukanmu, Levine."

Begitu mudahnya ia meluapkan segala emosinya padaku? Well, how about me? Apakah aku bisa selancar itu menyatakan perasaanku padanya sekarang juga?

"Apakah aku perlu membalas kalimat yang sama? Aku tidak bisa berpikir jernih saat ini." Yang menjadi jawabanku, entah kenapa aku memilih kalimat itu untuk kuucapkan. Stupid, Levine!

"Aku tahu.." Ia melepas pelukannya, dan menatap intens kedalam mataku.

"Harry.. Aku minta maaf.. Aku—"

"Aku mencintaimu, Levine. Hanya dirimu. Dan akan selalu menjadi dirimu. Jadi, kumohon, jangan pergi lagi."

"Jangan jauh-jauh dari aku, Lev. Aku yang akan menjagamu, dan takkan membiarkanmu terluka." Ucap anak berumur 11 tahun yang memiliki rambut keriting.

"I love you too." Aku mengeratkan pelukan dengan senyuman terlukis di wajahku.

One ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang