Sepulang sekolah Hafiza langsung pulang ke rumahnya, menyadari dirinya sudah berulang kali latihan untuk membujuk Ibunya. Ya, membujuk untuk mengizinkan Hafiza pergi mendaki gunung. Tidak di rumah, di kamar, di sekolah, bahkan di toilet pun Hafiza mencoba berlatih membujuk dengan beberapa untaian katanya yang sudah Hafiza siapkan di hadapan cermin yang berada di toilet.
Hafiza mengatur nafasnya teratur, perlahan-lahan Hafiza hembuskan. Detak jantungnya tak berirama, Hafiza seperti akan mengikuti kontest bernyanyi saja. Padahal yang akan Hafiza lakukan hanya berbicara dengan Ibunya mengenai permintaan perizinannya. Bukan di hadapan banyak orang, melainkan di hadapan Ibunya sendiri.
Begitulah, kalian pun pasti merasakan apa yang dirasakan oleh Hafiza saat ini. Bagaimana rasanya jika kalian ingin sekali mencapai apa yang kalian idam-idamkan dari dulu namun tak kunjung diberikan lampu hijau oleh kedua orang tua kalian.
Hafiza melirik ke arah ruang keluarga dari balik ruang kamarnya. Memang jarak antara ruang kamarnya dan ruang keluarga tidak terlalu jauh, masih bisa terjangkau dengan satu lurus pandangan. Berulang kali Hafiza melangkahkan kakinya namun tak kunjung sampai di ruang keluarga. Di sana ada Ibunya sedang menonton televisi sendirian. Kakak dan adiknya ntah sedang ada di mana. Namun, ini waktu yang tepat, pikirnya.
Semangat Fiza pasti bisa!
Hingga kali ini Hafiza benar benar di samping Ibunya, terduduk sembari meliriknya berulang kali. Kegugupannya mulai muncul sekarang.
"Bu.." panggil Hafiza.
"Kenapa sayang?" jawab Ibunya.
"Fiza.."
"Fiza apa?"
"Ibu pasti ngerasain kan perasaan anak Ibu jika harapannya belum juga terpenuhi?"
"Loh, maksudnya kenapa sayang? Apa anak Ibu yang satu ini punya harapan yang belum tercapai?" ucap Ibunya sambil mengelus puncak kepala Hafiza lembut.
"Hmm i-iya Bu, Hafiza punya impian dari dulu. Namun belum juga tercapai.."
"Apa yang kamu impikan itu sayang?"
"Tapi Ibu janjikan mau membantu mewujudkan mimpi Hafiza?"
"Pasti dong Hafiza anakku,"
"Hafiza punya impian buat mendaki gunung, Bu.. Fiza ingin sekali merasakan dekat sekali dengan alam. Fiza belum sempat merasakan ada di atas gunung Bu.. Bagaimana rasanya mendaki dengan kaki Hafiza sendiri, pasti sangat seru sekali ya Bu.. Menikmati anugerah Allah yang telah menciptakan keagungan-Nya dari atas gunung, menikmati sunrice di atas gunung.. Bu, Fiza menginginkan itu dari dulu.." jelas Hafiza kepada Ibunya, sembari menundukan kepalanya berharap Ibunya akan mengerti.
"Sayang.." panggil Ibunya pelan.
"Kenapa Bu?"
"Kamu yakin bisa melewati perjalanannya dengan kakimu sendiri? Perjalanan ke puncak gunung itu bukan hanya satu atau dua jam saja, pasti membutuhkan waktu yang sangat banyak."
"Iya Fiza tau kok Bu, Hafiza akan mempersiapkan fisik dan mental Hafiza dari sekarang.. Hafiza setiap libur mau menyempatkan buat olahraga kok."
"Tapi Ibu nggak yakin sayang.."
"Bu, Ibu harus percaya sama anak Ibu sendiri. Ibu yang selalu mengajarkan kan? Kalo hidup itu harus tetap optimis dan ikhtiar, bagaimana kita bisa melampaui itu jika hati kita masih ragu? Benarkan Bu?"
"Iya benar sekali, nak. Ibu hanya takut kamu kenapa-kenapa saat perjalanan. Dan Ibu takut penyakitmu kambuh lagi.."
"Tenang Bu, di sana banyak teman-teman Hafiza yang akan menjaga Hafiza dan akan selalu bertanggungjawab. Lagian Hafiza juga akan terus membawa obat kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
HAFIZA
Teen Fiction"Kenapa Tuhan tidak membiarkanku untuk melupakannya dalam sekejap?" "Kenapa kamu datang di saat aku ingin benar benar melupakanmu?" "Kenangan itu mampu membuat dada ini sesak seketika, ku mohon pergilah aku tidak ingin mengingatnya kembali." "Apakah...