Di sebuah Mansion mewah bergaya klasik yang berada di kawasan Ubud, Bali dengan bagian taman ditata sedemikian indahnya. Terdapat sebuah altar dengan dekorasi simple namun terasa mewah. Di masing-masing sisi terdapat bunga lily segar yang dikombinasikan dengan bunga tulip menguarkan aroma wangi yang tetap semerbak walaupun berada di outdoor.
Di altar tadi sedang berdiri dua orang perempuan, di depan seorang pria setengah baya yang bisa dikatakan sebagai pemimpin acara.
Kedua perempuan yang sama-sama berwajah sangat rupawan itu berdiri saling berhadapan dengan kedua telapak tangan mereka yang terjalin lembut dalam sebuah gandengan. Sepasang cincin emas putih bertahta berlian tampak melingkar dan berkilau di masing-masing jari manis mereka.
Salah satu perempuan yang sedikit lebih tinggi itu menatap dengan tatapan menunggu, ralat tidak hanya perempuan itu saja tapi seluruh audience yang hadir merasakan hal yang sama. Tadi dia sudah mengatakan dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan, kini giliran perempuan di depannya melakukan hal yang sama. Walaupun melihat setitik keraguan di dalam bola mata yang kini menatapnya dengan kelam, dia yakin jika perempuan yang sebentar lagi akan menjadi pasangan hidupnya itu tidak akan menuruti keraguannya.
Diremasnya secara lembut kedua tangan yang digenggamnya, untuk sekedar menyalurkan kekuatan. Bibirnya yang berwarna kemerahan bergerak melengkung sedikit ke arah atas membentuk senyuman. Walau hanya senyuman tipis membuat wajah yang elok seperti bidadari itu semakin tampak sangat menawan. Semua orang yang hadir berpikir jika alangkah beruntungnya sosok yang berdiri bersama dengannya di altar.
Helaan nafas sangat pelan terasa lolos dari perempuan yang sedikit lebih pendek, dia tahu tidak akan bisa mundur. Semua sudah sejauh ini dan harus terjadi. Apapun itu tidak akan ada yang bisa mengurungkan. Dia tidak sebodoh itu untuk menghancurkan harapan semua orang yang telah hadir, mungkin lebih tepatnya dia tidak akan sanggup mengecewakan papanya. Dalam sekali tarikan nafas dia mulai membuka bibir tipisnya sebelum kemudian kalimat terucap lancar dan lantang terdengar.
"Saya Shani Indira Natio, menerima Jessica Veranda Tanumihardja untuk menjadi isteri saya. Untuk memiliki dan menerima, mulai hari ini dan seterusnya. Dalam suka dan duka, kaya maupun miskin, sehat dan sakit. Untuk saling menyayangi dan menghargai hingga maut memisahkan."
Secara perlahan untuk kesekian kalinya dengan sedikit menghela nafas. Mencekat dan samar terasa nyeri pada hatinya, sepersekian detik menutup matanya sebelum netra hitam kelamnya terbuka untuk kembali meneruskan kalimat sumpah pernikahan yang sudah dimulainya beberapa saat lalu.
"Dengan bimbingan dari Tuhan dan Tuhan menjadi saksi karena itu saya menyerahkan jiwa dan raga saya ini untukmu."
Alih-alih menatap perempuan berparas bidadari di depannya yang kini senyum tipisnya sudah berganti dengan senyum lebih lebar, seandainya pertemuan mereka di suatu malam beberapa minggu lalu tidak ada mungkin Shani akan merasa percaya jika mereka bahagia dengan pernikahan ini.
Melalui ekor matanya dilihatnya deretan kursi tempat papanya duduk, seperti yang diduga kini sang papa tertawa lebar. Wajahnya sangat bahagia. Bahagia atas pernikahan putri satu-satunya dengan putri tunggal sahabat karibnya.
Tidak ada yang lebih membuat papanya bahagia selain kenyataan jika keluarga Natio dan Tanumihardja telah menjadi besan. Dan ini akan berarti sangat baik dalam banyak aspek.Walaupun ini adalah pernikahan yang salah, memang di belahan bumi lain pernikahan sejenis sudah legal dan sah di mata hukum. Tapi tidak di Indonesia, hanya karena background keluarga merekalah yang sangat terpandang bahkan bisa dibilang elit. Keluarga yang termasuk golongan 1% dari keluarga penentu banyak hal untuk sebuah Negara. Karena itulah sesalah apapun pernikahan ini baik di mata moral atau hukum sekalipun, tetap tidak ada hal yang bisa mengacaukannya.
Bukankah hukum tumpul pada keluarga yang berkuasa??Dan karena alasan untuk menjamin keamanan pulalah maka dipilih Bali. Selain di sini terletak mansion keluarga Natio yang menjadi tempat pernikahan, sekarang di Pulau Dewata ini dianggap sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang lebih bisa menerima culture barat.
Dengan keberagaman serta banyaknya turis dan tenaga kerja asing disini diharapkan segala tradisi dan moral yang sering digembar-gemborkan tidak akan banyak berefek.Lagipula siapa yang berani berulah atau sekedar mencibir pernikahan dua pewaris keluarga berkuasa? Jika bosan hidup maka lakukan, bisa dipastikan setelah ini keberadaanmu akan lenyap. Benar-benar lenyap seolah tidak pernah eksis di bumi ini.
".... sekarang silakan cium mempelaimu."
Dalam hati Shani mengumpat, pikirannya dari tadi berkelana hingga dia tidak menyimak apa yang dikatakan pemimpin upacara pernikahannya hingga sebuah kalimat yang menyuruhnya lebih tepatnya menyuruh mereka untuk berciuman.
Dirasakan sebuah tangan yang halus dan terasa hangat mengusap pipinya. Shani sedikit mengernyit karena merasakan sensasi menggelitik pada bagian wajahnya. Ketika mengarahkan pandangannya ke depan, matanya terbelalak saat wajah perempuan di depannya yang mulai detik ini menjadi isterinya hanya berjarak beberapa inch dari wajahnya. Hanya tersisa sedikit jarak untuk bibir mereka akan bersentuhan. Sebelum sebuah bisikan pelan merasuk ke dalam telinganya. Untuk kesekian kalinya melemparkannya pada sebuah realita.
"Mulai sekarang kuharap kita bisa bekerja sama dengan baik, Indira".
Kecupan ringan dan lembut menyentuh bibirnya, hanya beberapa detik sebelum tautan mereka terlepas. Detik berikutnya Shani tersadar di antara sorak sorai bahagia pengunjung pesta pernikahan mereka.
Pernikahan yang berbeda dengan pernikahan pada umumnya.
Lebih tepatnya kerjasama yang berkedok pernikahan.
Welcome to married with benefit, Shani Indira Natio.
*To Be Continue*
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Obsession
FanfictionFalling for someone You know You shouldn't. Trying to fight the feelings but just couldn't. Falling deeper in each passing day, hiding it in every possible way. -Shani Indira Natio-