XVIII

5.7K 228 158
                                        

WARNING!!!
Konten cerita di bawah ini mengandung
adegan dewasa yang sangat panjang dan eksplisit!!

RATE 18++🔞🔞🔞
Bagi yang belum cukup umur harap skip!!!
⛔⛔⛔
Bagi yang nekat maka resiko tanggung sendiri.



"Aku membawa hadiah untuk pindah rumah." Gracia langsung memutar matanya pelan ketika baru saja membuka pintu apartment-nya. Di depannya terlihat Shani tersenyum sambil mengangkat kotak berisi coffee maker dengan pita ungu.
"Kamu tidak mengijinkanku masuk?" Masih berdiam di depan pintu yang terbuka Gracia menatap datar Shani. Enggan beranjak seolah menghalangi akses belum rela Shani masuk ke dalam.

"Minggir, Ge." Menggunakan tubuhnya Shani mendorong Gracia untuk membiarkannya masuk. Perempuan penyuka warna ungu itu hanya menghela nafas kasar. Percuma. Shani kan memang egois tidak punya perasaan.

"Sopan sekali Anda sebagai tamu."

"Terima kasih untuk pujiannya." Gracia dalam hati mengumpat. Shani memang tidak tahu diri. Sindiran pedasnya tidak mempan sama sekali. Bahkan sekarang dengan santainya Shani duduk di sofa setelah meletakkan kotak yang dikatakan sebagai hadiah ke atas meja.

"Sudah kan? Ci Shani, bisa pulang setelah meletakkan kado itu." Gracia hanya asal berbicara karena dia tahu Shani tidak akan mempan disindir atau diusir secara terang-terangan. Shani hanya akan pergi jika memang menginginkannya. Gracia heran kenapa Veranda bisa menikah dan betah tinggal serumah dengan perempuan arogan macam Shani.
Tidak hanya duduk santai di sofa, kini Shani bahkan mengedarkan pandangannya ke segala arah. Seolah memperhatikan setiap sudut dengan teliti tanpa ada yang terlewat.

Dengan acuh Gracia menutup pintu kemudian berjalan ke dapur. Meninggalkan Shani yang masih betah duduk sambil melihat sekeliling. Gracia tidak sadar dan melewatkan Shani yang kini menatapnya nanar. Terluka dengan sikap judes dan pengusiran Gracia padanya.
Shani tidak peduli dengan orang lain. Masa bodoh dan acuh dengan sikap yang orang berikan padanya. Karena orang lain tidak ada yang berani bersikap kurang ajar seperti yang Gracia lakukan padanya.
Namun ketika mendapati sindiran dari Gracia tiba-tiba Shani merasa sesak. Dia tidak sekuat itu. Dia hanya pura-pura acuh tidak ingin terlihat terluka.

Dibenci orang yang dicintai memang sangat menyakitkan.

Shani melangkahkan kakinya mengikuti Gracia yang kini berdiri membelakanginya di dekat meja yang ada di tengah dapur. Sedang membuat minuman. Shani yakin Gracia pasti akan menamparnya jika dia berani memeluk perempuan bergigi gingsul itu dari belakang. Meskipun ingin merengkuh tubuh Gracia ke dalam pelukannya tapi Shani tidak akan melakukannya. Shani tidak mau Gracia semakin membencinya.

Jadi daripada memeluk kini Shani lebih memilih untuk duduk di bar stool samping Gracia. Meskipun bukan pelukan yang terpenting dia bisa berada di dekat Gracia.

"Ini minumlah setelah itu Ci Shani bisa pulang." Lagi-lagi kalimat pengusiran yang didapatnya. Shani menatap kosong ke arah mug berwarna ungu berisi teh yang menguarkan aroma jasmine.

"Apakah sangat sulit untuk sedikit saja aku mendapatkan cintamu?" Shani bergumam pelan. Tanpa maksud. Hanya bergumam. Tidak berharap Gracia mendengar apalagi menjawab. Itu lebih baik karena ketika ada jawaban justru terasa menusuk dan makin menyakitinya.

Walaupun melakukan pernikahan bersyarat bersama Veranda, setidaknya istrinya itu jauh lebih beruntung. Veranda masih mempunyai orang yang sangat dicintai tetap bersamanya.

"Aku tidak meminta hatimu seutuhnya. Hanya sedikit. Tidak perlu banyak. Tidak apa. Seperti itu saja tetap tidak bisa kurasa." Shani kembali bergumam dengan suara sangat pelan nyaris berbisik. Nafasnya tercekat sambil kedua tangannya menangkup erat pada mug Gracia berisi teh yang masih mengepulkan asap.
Tangan Shani seolah kebal tidak merasakan panas pada telapaknya karena sudah teralihkan sepenuhnya pada rasa sakit yang dirasakan hatinya.

Forbidden ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang