Dua (belas)

2.7K 200 8
                                    

Disarankan menggunakan tema hitam

Kenapa harus dia, kenapa kamu jatuhkan aku kepada senyumannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kenapa harus dia, kenapa kamu jatuhkan aku kepada senyumannya.
-Cinta

___

Goresan senja mulai tercipta kala Feral mendongakkan kepalanya ke angkasa. Menguyah, permen karet di dalam mulut dan mulai membuat balon. Cowok itu kini menatap Difa yang tak henti memantulkan bola oranye.

Sore menjelang malam di lapangan basket, taman dekat rumah. Di sanalah mereka berdua sekarang.

"Ahhh..." Difa mendesah terduduk melemaskan kedua kakinya, setelah menshooting kesekian kalinya namun gagal.

Napas cewek itu berantakan, keringatnya berkucur tak berkesudahan.

"Kenapa Sih lo suka banget, padahal sering gagal tetep aja kekeh" Feral berjalan mendekati Difa yang memang duduk di tengah lapangan.

"Gue itu tipikal orang setia, gak mudah nyerah cuman gara-gara di tolak sama ring berulang kali" jelas Difa menatap Feral yang sekarang duduk menyilang kan kedua kaki tepat di samping Difa.

Kini keduanya menatap tiang ring yang menjulang menutupi sedikit pantulan senja kala itu.

"Lo suka basket, gue suka futsal dan kita saling gak suka kedua olahraga itu di tukar.." Difa menatap Feral yang masih menatap ke depan. Gadis itu mengerjap sesaat, sebelum Feral membalas tatapan.

"...tapi, kali ini gue harap kita saling bertukar, Bukan buat di main, melainkan di pandang..." jeda beberapa saat dan Feral mengulur senyumnya.

"Lo paham?" Tanya Feral setelahnya.

Cukup lama sampai Difa manggut-manggut dan berakhir dengan gelengan kecil serta cengian gadis itu. Aduh, untuk Feral sayang jadi gak jadi di tendang.

"Bolot ni lo!" Tunjal Feral sedikit kesal kepada Difa sedangkan gadis itu masih setia dengan tawanya.

"Lo sih, biasanya juga ngomong pakek kata norak sekarang kata-kata berat lo pakek. Sok genius lo!" Balas Difa menunjal kepala Feral kencang, berhasil buat Feral meringis menatap Difa yang sekarang sudah bangkit.

"Buruan pulang" uluran tangan Difa di sambut Feral.

Gadis itu hendak berjalan duluan, menghampiri bola basket yang berada tidak jauh dari tempatnya berpijak sekarang. Namun, Feral sudah melangkah mengambil duluan. Cowok itu berbalik, melempar tangkap bola tadi "Coba lo pikirin sekali lagi.." tangkapan itu terhenti, Feral kini menatap Difa.

Ia lembar bola oranye itu ke arah Difa dan di sambut dengan mulus "Pandang gue seperti lo memandang bola itu.. sukai gue kayak lo suka sama basket, ayo pulang!"ujar Feral menghentikan langkah Difa. Cowok itu berbalik dan menggaruk belakang kepalanya.

Sedangkan Difa sudah tidak tahu lagi harus apa, dadanya mendesis, perutnya geli, jantungnya berdentum kuat dan napasnya tercekat beberapa saat.

Dia tidak terlalu bodoh untuk tidak paham ucapan Feral. Difa tahu, hanya saja gadis itu malu. Tak lama, ia mengigit bibir bawahnya menatap Feral yang sudah jauh melangkah, senyumnya akhirnya mekar.

"Kalau gitu, lo harus perjuangin gue seperti lo memperjuangi bola futsal. Walaupun akhirnya lo tendang, tapi tetep aja gue pioritas utamanya" ucap Difa memeluk bola basket semakin erat dan berlari menghampiri Feral.

...

Hembusan angin malam menyambut Difa, jejalanan setapak mulai ia telusuri di gelapnya angkasa. Mengeratkan jaketnya Difa tersenyum pelan mengingat sebagaimanapun angin malam itu kejam tetap saja ia suka malam.

Feral yang berjalan di samping cewek itu menatapnya dalam. Lantas bahagia mulai menyeruak ke dalam organ, hangat begitu saja padahal Feral sudah kedinginan.

Satu langkah besar, Difa berhenti. Berbalik dan menatap Feral, tepat di hadapan Feral. Cowok itu menatapnya heran "Kenapa?"

"Gue tau lo gak suka angin malam, tapi kenapa lo tetep mau nemein gue buat jalan-jalan?" tanya Difa.

Difa tahu Feral tidak suka malam. Bagi Feral malam itu gelap, dingin dan tidak bersahabat. Cowok itu hanya membutuhkan malam agar ia sadar tubuhnya perlu istirahat, selebihnya Feral mana mau tahu tentang malam dan segala cucu-cucunya.

"Lo aja gak suka sayur tetep harus makan sayur. Lantas, kenapa gue gak bisa?" Jawab Feral atau sebuah pertanyaan balik untuk Difa.

Gadis itu tersenyum, memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaket "Lo tau gak, di langit malam itu ada yang namanya konstelasi.." jelas Difa mulai menunjuk angkasa yang mau tidak mau Feral juga ikut menongak ke atas.

Tepatnya Difa menunjuk ke sekumpulan bintang yang bertebaran di langit, dan Feral akui itu sangat cantik.

"Konstelasi itu rasi bintang, sekumpulan bintang yang berhubungan dan dapat membentuk suatu konfigurasi khusus" jelas Difa menurunkan kembali tangannya. Gadis itu menatap Feral yang masih fokus ke arah langit.

"Ada namanya Orion salah satu konstelasi terkenal, Orion berarti sang pemburu punya tiga bintang yang terlihat sejajar membentuk sabuk. Namanya Alnitak, Alnilam dan Mintaka, tapi saat ini gue bukan mau bahas ketiga bintang itu..." jeda Difa saat Feral mulai menatap dirinya.

Hening beberapa saat, sebelum Difa kembali bersua "Rasi Orion membentuk sekitar 7 bintang dan bintang yang paling terang di sebut bintang Rigel. Bintang berwarna putih kebiruan ini cahayanya lebih terang dari matahari. Dan dia salah satu bintang yang buat gue suka akan malam" tutup Difa dengan rentina mereka yang bertemu.

Feral menatapnya dalam, memadang Difa yang memancarkan rasa senangnya hanya sekedar menceritakan bagaimana hebatnya sebuah Rigel dan Orion di angkasa.

Kebahagian Difa sederhana, cukup melihat langit malam bertaburkan bintang dan bulan.

"Kalau gitu lo serupa dengan Rigel. Emang gak bisa sama sesempurna itu, tapi setiap orang punya rasi bintang mereka masing-masing di mata. Dan lo berhasil menjadi yang paling terang di antara bintang yang pernah terlihat di mata gue" ucap Feral menghentikan segala waktu Difa.

Difa tidak tahu lagi jika pipinya memerah bahkan membiru sekalipun. Cuaca yang semula menusuk perlahan menjadi selimut.

Gadis itu tersenyum sangat manis, semacam ada bunga yang mekar di pertu Difa. Ia tidak tahu lagi mendeskrpsikan bahagia.

"Kalau gue Rigel di mata lo, lo harus jadi Orion di pengelihatan gue. Jadilah konstelasi yang punya bintang yang paling terang seperti Rigel. Jika semua orang tahu Orion punya Rigel yang terang, mereka juga harus tahu kalau kita sama dengan keduanya" balas Difa langsung membalikan badanya. Ia malu sekarang.

Jika Difa malu Feral sudah terbunuh, cowok itu membuka mulutnya dan menatap punggung Difa. Lantas senyum lebar keluar begitu saja, ia memang tidak tahu jelas apa itu konstelasi atau rasi bintang yang di katakan Difa. Tapi, Feral tahu satu hal kalau Rigel nama bintang yang paling terang di Orion.

Jika Difa memintanya menjadi Orion di mata gadis itu, itu sama saja Difa meminta Feral secara tidak langsung menganggap dirinya yang utama. Yang paling terang dan yang paling Feral sayang.

Sudahlah, aku sudah kehilangan kata-kata.

-Gracias-

a/n. Kalau ada kesalahan dalam penyampaian konstelasi Orion ataupun bintang Rigel. Tolong di benarkan, aku juga masih belajar....ㅜㅜ

GraciasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang