Sem(bilan)

1.9K 148 1
                                    

Di sarankan menggunakan tema hitam

Mau mengelak seperti apa lagi, pada dasarnya kamu sudah suka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mau mengelak seperti apa lagi, pada dasarnya kamu sudah suka. Jadi bilang saja itu sebenarnya.

___


"Lo gak balik bareng Feral?"

Difa menatap Cece yang menyenderkan tubuhnya di tembok. Gadis itu menggeleng memberi jawaban.

Memang benar adanya tidak ada lagi yang sama di saat semuanya tidak berubah sedikitpun. Iya, tidak berubah sedikitpun. Difa saja bingung apa maksud itu semua, sebab hatinya yang terus bersua jika tak akan ada lagi yang bisa di samakan untuk dulu dan sekarang.

Malam itu, malam terakhir Difa dan Feral bertegur sapa lewat jendela kamar. Tidak ada yang tahu motif apa yang menyebabkan jarak itu terasa sangat nyata. Pokoknya ke esok hari, Difa dan Feral tak lagi sedekat nadi.

Rasa itu bahkan tersampaikan ke Cece, gadis beramata sipit itu terus memperhatikan beberapa saat. Sampai ia memutuskan ada suatu hal yang salah di antara keduanya.

"Incaran yang lo maksud waktu itu Delista?"

Pertanyaan tanpa aba-aba dari Cece berhasil memberi sentuhan dashyat bagi Difa. Gadis itu sampai tersentak sebentar sebelum menunduk ke bawah.

Ada perasaan tidak suka saat membahas nama itu.

"Yah, seperti yang lo ketauhi" jawab Difa sebisa mungkin menatap manik Cece.

Karena Difa tahu jika ia menunjukan gelagat seolah menolak sedikit saja. Cece pasti akan berkesimpulan bahwa Difa tak pernah suka hal itu.

Dan Difa tak mau lagi ada yang mengetahui rasa ini selain Bobi seorang.

Cece balas menatap lantas mengangguk "lo sahabat yang amat pengertian" ujar Cece memberi sensasi ingin teriak dari Difa.

Difa tersenyum sambil menarik napasnya "Hal ini baru bagi Feral, jadi gue gak mau ngehancurin itu dan ngebuat Delista mikir kalau Feral dan gue lebih dari sekedar teman" jelas Difa.

"Bukanya udah kayak gitu..."

Difa menoleh ke samping, Cece menatapnya.

"Benarkan? Lo dan dia punya rasa yang sama" tambah Cece.

Cece menarik napasnya kini membenarkan posisinya lebih menghadap Difa.

"Masih ada kesempatan buat ngaku" ujar Cece kembali memberi sentakan hebat untuk Difa. Gadis itu menelan ludahnya susah payah, Cece memojokkannya tanpa cela sedikitpun.

"Kayaknya yang di sana Bang Bobi deh" tunjuk Difa ke salah satu motor yang terparkir tak jauh dari tempat keduanya berpijak.

Cece menghembuskan napasnya menatap Difa yang mencoba mengubah topik pembicaraan. Dari sana Cece sadar, jika ucapannya sangat benar.

"Dengan lo yang seperti ini, semakin membuat gue yakin. Difa.. gue gak tau apa yang lo rasain sekarang atau gimana hati lo berusaha untuk se tegar ini" Difa menatap Cece kembali. Difa tahu Cece menghawatirkannya, tapi ini seutuhnya keinginan Difa untuk tetap diam. Jadi dia harus bisa menerima akibat dari keinginannya itu.

"Gak ada salahnya buat jujur, jangan pikirin apa yang bakal terjadi setelah itu. Lo harus tahu kejujuran selalu memberi jalan, walau terkadang kejujuran itu menyakitkan" penjelasan Cece yang masih bisa Difa ingat di benaknya. Benar, Difa berlalu begitu saja ketika Cece selesai bicara.

....


"Sedang apa?"

Feral menoleh ke sampingnya mendapati Fema yang berdiri memeluk boneka beruang berwarna pink itu.

"Tidur, udah malam besok sekolah" peringat Feral kembali fokus pada tatapan awalnya.

Fema memanyunkan bibirnya, kini menatap hal serupa yang sedang di lakukan kakak laki-lakinya itu. Fema mengeryit tak paham, apa yang menarik dari sebuah jendela.

"Abang, kenapa lihat jendela kak Difa?" Tanya Fema menatap Feral kebingungan sedangkan Feral masih kelimpungan karena ketauhan adiknya.

"Siapa yang lihat.. Fema sok tahu tuh!"

"Abang, abang yang lihat.. itu buktinya" Fema menunjuk Feral bergantian dengan letak jendela kamar Difa.

Feral membulatkan matanya "Apa! Enggak.. Fema mendingan tidur. Abang aduin Bunda" ancam Feral menatap Fema sengit.

Bukannya takut Fema malah tersenyum kecil seolah mengejek "Abang suka ngintip Kak Difa. Fema aduin sama Bunda" balas Fema semakin membuat Feral mendelik.

Cowok itu akhirnya mensejajarkan tingginya dengan Fema hendak bicara namun terpotong karena Fema lebih dulu menghentikannya.

"Abang... " Fema meletakan tangan kananya di kepala Feral "... Abang tau 'kan Fema sayang Abang. Tapi Fema lebih sayang Kak Difa, jadi abang jangan ngintip kak Difa lagi. Fema marah" jelas Fema menepuk-nepuk kepala Feral perlahan.

Yang mendapat tingkah seperti itu mendesis "Fema masih kecil, mendingan Fema tidur" Feral menahan tangan Fema di kepalanya, membawa tangan mungil itu di genggamanya.

"Tapi, Fema gak marah 'kan... kalau Abang sayang juga sama kak Difa"

Fema menggeleng dengan cengirannya "Kata Bunda, semakin banyak orang yang sayang sama kita itu tandanya kita baik. Kak Difa itu baik" jelas Fema.

Fera tersenyum mengusap kepala adiknya sayang "Fema sana tidur"

Fema mengangguk dan berlari menjauh dari Feral. Cowok itu lantas kembali lagi melakukan aktivitasnya yang terhenti, memandangi jendela kamar Difa yang sudah tertutup dengan rapat.

"Abang! "

Feral menghadap belakang menatap Fema yang berdiri di depan pintu kamar.

"Waktu itu, kak Difa ke sini. Tapi, Abang gak ada"

"Kapan?" tanya Feral.

"Yah.. waktu itu" jawab Fema berhasil membuat Feral ingin terjun saja.

"Bukan itu.. mak--"

"Abang tanya sama Bunda deh. Abang gak ngerti apa yang Fema bilang, bikin kesel aja!"

Feral masih menatap pintu kamarnya sampai ia kembali menatap jendela kamar Difa.

Kapan Difa datang ke rumahnya di saat ia tidak ada di rumah. Dua hari yang lalu Feral rasa ia tidak keluar kemanapun, kecuali malam dimana ia berulang tahun. Iya, malam itu.

Tapi, apa benar?

Seingat Feral, Difa lupa jika itu bulan Oktober. Bahkan mereka sempat mengobrol, obrolan terakhir sebelum keduanya merenggang tanpa sebab.

Feral ingat Difa bilang ia terjaga karena terbangun. Tapi tunggu dulu, untuk apa Difa tidur menggunakan jepitan rambut.

Iya, jepitan pita warna biru. Hadiah dari Feral untuk Difa.

-Gracias-

GraciasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang