Ti(ga)

1.8K 142 1
                                    

Diatas rasa nyeri, diambang pintu perpisahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Diatas rasa nyeri, diambang pintu perpisahan. Aku yang begitu kejam, aku akan terus ada untukmu ku serahkan diri ini padamu, meski kau tidak mengenalku Aku mohon jangan menangis, tersenyumlah meski itu hanya sebuah kepalsuan.
- Baby don't cry ~EXO -
....


Talia Mama Difa menatap nanar anak gadisnya itu, yang sekarang meremas secarik kertas di tanganya. Papa Difa menunduk dan mendesah rendah.

Sedangkan Bobi sudah beranjak sejak tadi.

Gadis itu meletakan kertas di tanganya ke meja, diam sejenak sebelum memandang Mamanya yang sudah menangis dan memandang Papanya yang tak henti menunduk.

Difa tidak mengerti kenapa waktu dapat membalik semuanya semudah ini, menjalankannya secepat ini. Satu minggu yang lalu, gugatan atas nama Mama untuk Papa di layangkan dan satu minggu kemudian Difa baru tahu kebenaranya.

Seberapa banyak lagi yang di rahasiakan selain perasaanya.

Dan dengan mudahnya sepasang orang dewasa ini meminta Difa untuk memilih dengan siapa ia ingin bersama.

"Kalau Difa mau keduanya bagaimana?" Tanya Difa menatap keduanya bergantian. Tidak ada yang menjawab sampai Difa kembali membuka suara.

"Kalau Difa menolak keduanya bagaimana?"

Mama mendekat dan mengelus tangan Difa pelan, wanita paruh baya itu menangis pelan "Ini bukan kemauan semuanya Difa, tapi Papa dan Mama tidak bisa lagi mempertahankannya"

Difa diam, ini yang ia pikir tentang keluarga sempurna yang selalu melewati hari tidak tanpa sarapan bersama, yang setiap malamnya berkumpul di ruang keluarga saling berbagi tawa dan kisah.

Nyatanya sama saja, ujungnya tetap berpisah.

Karena pada nyatanya kebahagian itu layak sebuah permen, akan habis masa manisnya dan kembali mengecap rasa hambar di lidah.

"Difa gak pernah lihat Mama dan Papa bertengkar atau apapun yang bisa berujung pada perceraian. Semuanya tampak baik-baik aja, sampai Papa menghilang seharian dan sekarang Mama dan Papa meminta Difa memilih di antara kalian.. ini terlalu lucu" ujar Difa meremas jemarinya.

Papa mendongak menatap kedua malaikatnya yang sekarang sedang berpelukan, atau Mama yang berusaha memeluk Difa.

"Yang kamu lihat baik-baik saja belum tentu seperti kenyataanya, Papa dan Mama berusaha untuk tidak bertengkar di depan kalian, kami sudah berusaha untuk memperbaiki masalah kecil yang terus memuncak hingga pada akhirnya kami memutuskan untuk berpisah" jelas Papa.

Difa menggeleng, dia tidak mau. Siapa di sini yang ingin keluarga yang selalu memiliki definisi bahagia ternyata juga menyimpan banyak kesalahan. Hubungan yang selalu menjadi panutan Difa ternyata sama saja, sama juga memiliki permasalahan.

"Ini sudah di bicarakan baik-baik Difa, Mama dan Papa memutuskan berpisah secara baik-baik" tambah Mama.

Difa mendongak menatap mata sang Mama "Tidak ada yang namanya perpisahan itu baik-baik saja, perpisahan itu luka sebuah sakit yang nyata. Bagaimana bisa Mama dan Papa menjelaskan jika perpisahan itu di lakukan secara baik" tolak Difa melepas pangutan tangan Mama di tubuhnya.

Dia perlu ruang baru untuk berpikir dan sandaran untuk menopang tubuhnya. Berlari ke arah Bobi bukan hal baik, karena Difa tau kakaknya itu sama saja dengan dirinya.

Yang dapat Difa lakukan sekarang ialah mencari pegangan lamanya yang sudah terlepas, hanya sebentar untuk kali ini saja. Difa mohon semoga Feral dapat membantunya.

...

Hembusan angin malam kencang menampar seluruh permukaan kulit Difa. Sudah 30 menit setelah pesan yang ia kirim, namun naasnya pesan itu sama sekali belum terbaca.

Dengan cahaya seadanya dari layar ponselnya yang selalu terbuka di room chat yang sama. Difa menaikan kedua kakinya, menyilang di bangku taman, gadis itu lalu memeluk dirinya sendiri sekarang.

Hingga seorang manyampirkan jaket ke tubuh dingin itu, Difa menoleh dan matanya bertegur sapa dengan mata hangat milik Azi. Sejak itu Difa berpikir jika orang yang selalu ia harapkan hanya akan menjadi angan-angan.

"Jangan takut, lo gak perlu melulu jadi malam yang penuh kesedihan" Difa memeluk tubuh itu kuat dan tangisnya pecah.

Malam itu, di bawah langit dan para orbitannya Azi memeluk tubuh Difa yang tak henti mengeluarkan air mata. Sedangkan di bawa langit dan malam yang sama Feral mencengkram erat ponselnya, menatap kedua punggung orang yang saling berbagi kasih, mulai sekarang Feral harus sadar dirinya bukan sandaran gadis itu.

Dia bukan lagi Orion Difa, bukan lagi konstelasi gadis itu.

-Gracias-

a/n : Part ini cuman sebagai penjelas di part berikutnya. Aku cuman mau ngasih tau aja, masalah Difa dan kehilangan telak bagi Feral.

GraciasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang