Ini tentang aku yang menyukaimu dari balik jendela, tentang aku yang mencintaimu seperti bulan ke pada matahari dan tentang aku yang kau tetapkan hanya sebagai sahabatmu.
...
Suara khas pintu terbuka terdengar, Difa melangkah masuk ke kamarnya berjalan mendekat ke arah cermin rias di meja. Gadis itu menghembuskan napasnya menatap deretan angka di kalender, membalikan satu lembar dan satu bulan terlewati sudah.Tadi, ia baru selesai mengikuti jalur hukum yang di ambil keluarganya. Dan hari ini resmi Papa Mama Difa tidak bersama lagi. Keputusan yang telah menjadi kabut beberapa minggu lalu akhirnya keluar, Bobi akan tetap bersama Mama dan Difa akan pergi dengan Papa.
Lusa Difa akan meninggalkan semuanya, kamar ini, suasana ini, Mama dan Bobi, serta perasaanya ini.
Ia akan meninggalkan semuanya, pergi dan tak tahu kapan akan kembali.
Mengedarkan pandanganya, Difa mendekat ke arah lemari pakaian hendak membuka namun terhenti tepat di gagang. Gadis itu lantas merendahkan tubuh, berjongkok tepat di laci bawah lemarinya.
Membuka laci itu dan tersenyum tipis mengeluarkan beberapa kotak-kotak bermacam warna. Ia sudah melakukan ini sejak SMP di tahun ajaran pertama, selalu membeli kado di hari dan tanggal serupa.
Meletakan kotak-kotak hadiah tersebut di atas kasur dan duduk di tepian.
"Feral itu suka sama lo, dari sikap mananya sih lo gak bisa sadar?"
"Kalau dia suka, dia gak mungkin mau deketin Delista sampai pacaran gini"
"Itu namanya berkorban Difa, dia ngelakuin itu gak lebih dari sekedar ngikutin kemauan bodoh lo"
Difa menoleh ke arah tumpukan hadiah di sampingnya setelah mengingat perbincangan dirinya dengan Cece.
"Dia bersama Delista gak akan bisa lebih lama dari dia bersama lo. Percaya sama gue..."
"... Jangan jadi pengecut, kalau emang kalian gak bisa sama-sama setidaknya dia harus tau juga, kalau lo di sini sama sukanya dengan dia"
Memejamkan matanya Difa kembali merasakan sesak di dada. Perasaan gadis itu bergetar hebat, bohong jika Difa bilang ia tidak rindu Feral. Jarak mereka benar-benar merenggang pada malam itu, malam dimana Difa mengirim pesan tanpa ada balasan dari Feral sampai sekarang.
Malam dimana Difa sedang membutuhkan sandaran cowok itu, malam dimana Difa perlu penguat dari Feral dan menjadi malam terakhir Difa mengharapkan cowok itu.
Beranjak dari malam itu, Difa memutuskan untuk berhenti menyukainya. Berhenti mengharapkannya, dan berhenti bermain di lingkaran pertemanan seperti orang bodoh lagi.
Dia menetapkan hatinya, menghilangkan segala kepingan hatinya dan Difa memperjelas kepada rentetan kenangan jika ingatan itu telah habis masanya.
Namun, semuanya tampak selalu sia-sia. Gadis itu seolah selalu berotasi di tempat yang sama, tidak pernah berpindah hanya berputar saja.
Hingga dirinya lelah dan sadar rasanya akan selalu ada di sana, terpati tepat di hatinya. Telah terukir dan punya tempat, jika seorang Feraldion akan selalu menjadi kenangan cinta pertama Difa Deliana.
"Apa jadinya jika gue dulu berani buat jujur, apa yang akan terjadi jika waktu itu gue gak maksa Feral nganter Delista pulang, apakah sampai detik ini gue masih bisa ketawa bareng dia?" Pertanyaan itu menggantung bertepatan Difa mendekat ke arah jendela.
" Atau apakah gue dan Feral bisa bersama? Bersama dalam ikatan rasa"
Memandang hal serupa yang selalu ia pantang dulu, tempat ini, jendela ini punya banyak kenangan. Rasanya berat jika ia pikir untuk kedepannya tidak bisa lagi memandang Feral sedekat ini.
Menghela napas, Difa mengulum senyumnya sebelum menutup jendela.
...
"Makasih yah Kak"Azi mengangguk kecil dengan senyumnya, mereka berdua saat ini berada di depan rumah Difa, selesai jalan-jalan katanya.
"Ahhh.. gue gak kepikiran kalau kangen lo gimana yah rasanya" ujar Azi menatap Difa yang sudah mengulum senyumnya.
"Alay banget deh.. cuman beda kota bukan beda alam" kekeh Difa masih amat terdengar di telinga Azi sampai kekehan itu mulai padam saat Azi menatap mata itu dalam.
Cukup lama, sampai Azi tersenyum tipis "Gue gak tau mantra apa yang lo pakek sampai bisa buat gue seperti ini, bisa jatuh dengan mudah..." menarik napasnya dan menghembuskan secara perlahan "... ini gue orang baru loh, apa lagi orang lama yang udah bersama lo bertahun-tahun" jelas Azi memasukan tangan kirinya ke kantong celana.
Difa diam masih berusaha menetralkan jantungnya, Difa tidak mau munafik dengan berkata jika ucapan Azi tidak berpengaruh dengan dirinya. Ini loh jantungnya berdebar, tapi Difa tidak bisa pungkiri debarannya berbeda di saat dia bersama Feral.
Debaran kali ini hanya dentuman kecil, yang bergetar sebentar.
"Kak.."
"Gue udah pernah bilang 'kan jangan panggil Kak, tapi tetep aja lo manggil hal yang sama" tawa Azi pelan.
Cowok itu tersenyum dan Difa baru sadar jika Azi laki-laki yang gemar tersenyum hangat.
Meletakan kedua tanganya di bahu Difa, Azi menatap iris itu dalam "Jadi pacar Kakak mau gak Dek?"
Melihat respon Difa yang membeku, Azi gemas mengacak rambut Difa .
"kak Azi-- aku---"
"Gak usah di jawab, kalau lo jawab hati gue yang sakit nantinya" ujar Azi masih bersama senyumnya.
Aduh, ini orang kenapa senyum mulu.
Difa diam menatap mata Azi yang langsung di balas tatap. Azi cowok tampan dan manis, pribadinya hangat dan dapat di andalkan. Difa suka Azi tapi tidak lebih. Difa sayang Azi tapi tidak bisa se sayang dirinya dengan tetangga sebelah.
Mengigit bibir bawahnya Difa memeluk tubuh itu erat, bukan sebagai jawaban tapi sebagai ucapan terimakasih karena sudah hadir untuk menguatkan.
Azi yang di peluk membalas dengan senang hati, dari awal Difa adalah adik temanya dan akan selalu menjadi seperti itu. Tapi, setidaknya Azi tidak bodoh seperti Feral yang memilih diam akan perasaanya.
"Kalau gue bisa jujur, lo juga harus bisa.. kalau bukan dia yang bilang, itu tandanya lo yang di minta terbuka" jelas Azi melepas pelukannya.
Cowok itu tersenyum dan meletakan tanganya di kepala Difa menepuknya pelan "Jangan lari lagi yah.." dan senyum Difa mengembang.
Jika di bawah sana ada Difa dan Azi yang sedang membagi kasih, maka di atas balkon kamar ada Feral menatap ke angkasa, setelah ia melihat kedua orang di bawah berpelukan.
Cowok itu tersenyum dari sana dan bergumam "Ngeliat lo tersenyum aja udah lebih dari sekedar cukup untuk nyenangin hati ini Difa"
"Gue suka sama lo, bukan... tapi cinta. Lo harus tau itu"
-Garacias-
a/n : Astagah dragon, satu part lagi...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gracias
Teen FictionDari miliaran pasang mata kenapa harus mata sekelam angkasa. Dari ribuan alasan kenapa harus bertajuk pada pengakuan. Tentang segalanya, tentang kamu yang luar biasa manisnya.