Di sarankan menggunakan tema hitam
Berjauhan dengan kamu itu rupanya menyulitkan. Aku seolah suram karena matahariku telah hilang.
___
Feral meneguk air minumnya dengan mata yang terfokus kepada Difa di ujung sana. Saat ini pelajaran olahraga, beruntungnya Pak Yunus hari ini sibuk jadi mereka di bebaskan untuk melakukan olahraga apapun tanpa materi.
Dan Feral suka akan itu.
"Sore nanti tetep latihan kaga?" Tanya Valdi, cowok yang memiliki senyum aneh, itu menurut Feral sebab di saat cowok itu nyengir giginya tak pernah merapat.
"Kaga ah, capek gue" sahut Adon cowok yang duduk di depan Feral sambil mengibas-ngibaskan bajunya berusaha mencari angin.
Feral hanya menyimak keduanya sampai seorang menepuk bahu kanan cowok itu. Si ketua kelas, yang menang vote karena keberuntungan--Ferdi--.
"Ral, ada yang nyariin lo. " Ferdi menunjuk dengan instruksi sederhana. Feral menoleh mendapati Delista yang berdiri tidak jauh dari ujung lapangan.
Cowok itu mengernyitkan dahinya beberapa saat sebelum mengangguk dan berlalu mendekati Delista.
"Hai.." Sapa Delista di balas dengan senyum manis Feral.
Bersama dengan tawa canda dari obrolan mereka, sepasang mata memperhatikannya. Di situ Difa jelas sadar, bahwasanya tak akan ada lagi yang sama.
...
Langkah sepatu Difa terhenti, rentina gadis itu menatap sosok Feral yang menyender di dinding koridor. Menelan Saliva nya susah payah, Difa kembali melanjutkan langkahnya. Kenapa rasanya aneh sekali."Kenapa pergi, gue nungguin lo"
Satu langkah
"Lo gak denger gue.."
Dua langkah
"Difa..."
Langkah itu terhenti. Difa terdiam masih sama dengan posisi awalnya, membelakangi Feral.
Cowok itu memandangi punggung Difa. Feral sudah mendengar dari Bundanya pagi tadi. Fema benar, Difa pernah datang ke rumah. Bukan hanya datang, namun menunggu hingga tertidur. Rasanya Feral malu hati, dia marah karena gadis itu melupakan hari istimewanya.
"Kenapa lo bohong" tanya Feral mulai mendekat menarik pergelangan Difa membuat gadis itu berbalik menatap dirinya.
Detik kedua pandangan itu bertemu, bola mata yang akan selalu menjadi kesukaan Feral. Cukup lama keduanya diam membisu, untung saja sudah pulang sekolah dan Feral memang sudah niat berbaikan dengan Difa. Ia tidak bisa bertengkar terlalu lama dengan gadis itu, terutama dengan alasan tidak jelas sama sekali.
Maka dari itu, Feral memutuskan untuk menunggu Difa keluar kelas.
"Elo pernah bilang waktu itu, kalau lo tipikal orang setia yang gak bakalan nyerah gara-gara di tolak ring basket..." jeda sesaat, dan genggaman itu melemah.
"... tapi, kenapa lo gak setia sama gue?" Pegangan itu terlepas, menyisakan bekas-bekas yang masih terasa di lengan Difa.
"Lo gak lupa Dif, tapi kenapa lo pura-pura lupa?" Dua pertanyaan itu menggantung begitu saja, Difa memilih bungkam. Ia tidak tahu harus menjawab apa, karena semua pertanyaan Feral mengarah kepada satu rasa.
Rasa sukanya.
"Ral.. gue emang inget, cuman waktu itu lo lagi bahagia. Gue gak mau buat lo merasa bersalah atas gue.." ujar Difa pelan.
Feral mengusap wajahnya gusar, jika Difa tahu ia malah semakin kecewa mengingat gadis ini lupa akan dirinya.
"Lo gak tau apa yang gue rasain, marahan sama lo kayak bocah buat gue gila!" Feral menggeram menahan teriakannya agar tidak mengema.
Jujur, selama ia dan Difa tidak bertegur sapa, Feral persis orang gila di rumah. Yang di lakukan setiap malam hanya memandang jendela sebrang atau bermonolog di depan cermin, seperti bergumam pelan.
"Hai ! Difa.. sombong yah lo gak nyapa gue?"
"Kenapa sih lo?!"
"Dif, gue minta maaf"
"Difa, lo tau gak gue tu su--...ahhhh!"
"Oke, lupain.. sekarang mana hadiah buat gue. Lo inget, pasti lo juga nyiapin" pinta Feral menyodorkan tangannya.
Difa menatap cowok itu mencibir, menepuk tangan Feral "Udah gue jual!" Jawab Difa lalu berbalik meninggalkan Feral.
"Yah udah, gue cari aja di kamar lo sendiri" ujar Feral santai, memasukan sebelah tanganya ke kantong celana, masih menunggu respon Difa.
"Omongan lo cuman ampas Ral" balas Difa tanpa berbalik dan masih melangkah.
"Enggak! Gue minta bantuan Bang Bobi, mampus lo!" Feral mulai menguatkan suaranya. Mendengar itu, Difa berbalik dan menunjuk cowok itu sambil berjalan mendekat.
"Sepenting apasih hadiah gue buat lo, masih penting juga hadiah dari tu cewek" ketus Difa merengut kesal.
Menaikan sebelah alisnya, Feral tersenyum sinis "Emang sih, penting apa coba hadiah lo paling cuman barang ceban. Sedangkan yang di kaa--"
"Masih mending gue inget!" Potong Difa cepat.
"Cemburu yah lo" Feral mencolek hidung Difa, semakin membuat gadis itu kesal.
"Kemarin aja nyuruh-nyuruh gue deketin tu cewek. Sekarang marah-marah.. gimana si lo Dif"
"Gue gak bilang tu cewek Delista yah" solot Difa berhasil memberi tawa Feral.
Kepancing.
"Emang gue bilang kalau cewek itu dia?" Usik Feral membuat Difa diam dan mengigit bibir bawahnya.
Mampus!
Difa memejamkan matanya, berusaha menetralkan detak jantungnya. Gadis itu menghentak kesal dan berbalik, berjalan dengan cepat meninggalkan Feral yang tertawa dengan semburan besar.
Cemburu itu emang gak enak, tapi percayalah cemburu itu tolak ukur rasa.
-Gracias-
KAMU SEDANG MEMBACA
Gracias
Teen FictionDari miliaran pasang mata kenapa harus mata sekelam angkasa. Dari ribuan alasan kenapa harus bertajuk pada pengakuan. Tentang segalanya, tentang kamu yang luar biasa manisnya.