BAB 17 "Gomawo, Ajhussi"

231 33 2
                                    


Bukan sesuatu yang mudah untuk bertahan dalam rasa sakit yang melanda hati. Seperti tiap detik waktuku untuk bernapas kian habis. Aku tidak mengerti, sungguh. Permainan kehidupan bukanlah sekedar wahana bermain yang jika pun takut pengalamannya akan tetap sedap untuk diingat. Permaianan kehidupan? Orang-orang memilikinya dalam bentuk yang berbeda-beda. Milikku adalah sesuatu yang teramat menakutkan.

Sergukanku kian mengencang, pilu yang menerjangku rupanya mampu memporak-porandakan gengsi yang telah lama kusembunyikan. Aku enggan lagi memikirkan bagaimana pendapat lelaki di sampingku ini. Toh dia memang sudah tahu, bukan? Soal bagaimana kehidupanku berjalan dengan kejamnya.

Menangisi tiap lelaki yang menyakitiku membuat hati terasa berkhianat. Tetapi, aku memang begini. Terlalu bodoh hingga mampu mengiba pada derita seseorang yang mana sesungguhnya adalah dalang dari derita miliku. Aku sudah gila, jika begini sebaiknya ku serahkan diri saja ke rumah sakit jiwa. Aku sudah tidak tahan.

Seokjin hanya mampu menemani dalam hening, ia tak sedikit pun mengganggu laju tangisku. Ia biarkan aku larut dalam sedu-sedan yang tak kunjung redam. Hanya tangan besarnya yang merangkul tubuh ringkihku dan meminjamkan pundaknya untuk bersandar.

"Apa yang harus kulakukan?" lilirhku, niat bertanya pada diri sendiri.

"Kau gadis yang bijak, kau tahu mana yang menurutmu baik untuk dilakukan."

"Seharusnya dia hidup dengan bahagia setelah memberikanku begitu banyak derita. Mengapa dia juga harus ikut nelangsa? Lelaki tua bodoh! Harusnya ia tertawa di atas penderitaanku."

"Kau tetap ingin dia bahagia?"

"Dari dulu seperti itu. Aku ingin hidupnya bahagia, itu saja sudah cukup untuk membalas apa yang telah ia lakukan. Em ...  Ajhussi, apa kau tahu di mana ayahku sekarang?"

Seokjin menggeleng.

"Bukankah kau terus memberinya uang? Kau pasti tahu informasi tentangnya."

"Aku membencinya, mana sudi diriku tetap berhubungan dengannya."

"Tentu saja."

***

Aku menolak untuk dibawa ke rumah sakit, karena aku memang berpikir jika kakiku baik-baik saja. Namun, kini tangga di depan mata membuatku menelan ludah dengan getir. Entah berapa banyak jumlah anak tangganya, aku pun tidak memiliki waktu luang untuk iseng menghitungnya. Namun, yang jelas itu akan mempersulit kakiku yang sedang terkilir.

Lagi pula perutku pun terasa sangat sakit, gejala bulanan yang selalu datang bertamu ternyata tidak tahu waktu. Kini sudah sangat lengkap rasa ngilu di sekujur tubuh ini. Kemudian aku hanya dapat menghela napas tatkala ingat jika persedian tamu bulananku juga sudah habis. Sekarang bagaimana?

Keringat dingin mulai bercucuran, sakitnya sudah tidak bisa ditahan. Dengan gontai aku berjalan perlahan menaiki tangga, setidaknya aku harus segera membaringkan tubuhku di atas ranjang. Terlelap mungkin adalah solusi tercepat yang dapat kupikirkan. Aku harus segera tiba di kamar.

"Kau kenapa?"

Suara yang kiranya sudah tak asing di telingaku itu mengagetkan. Tetapi aku sudah tak punya tenaga hanya untuk menjawab pertanyaan miliknya. Hey, Ajhussi tua, bukankah sudah nampak jelas dari wajahku? Rasanya sekarat kau tahu! Tak menghiraukannya, aku pun tetap melanjutkan langkah-langkah pincangku.

"Benar-benar kau ini."

Mungkin karena ada begitu banyak jarak antara diriku dengannya yang mempersulitnya untuk bersikap baik secara terbuka di depanku— jarak yang kumaksud bukan usia. Kini ia kembali memperlakukanku bagai tuan putri, menggendongku dipangkuannya kemudian membawaku menuju kamar. Kali ini aku hanya bisa pasrah, rasa sakit pada perutku tidak bisa lagi ditoleran dan membuatku begitu lemas. Tanganku pun tanpa sadar meremas kemeja milik Seokjin.

Dear Friend "I LOVE YOU" - JJK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang