BAB 4 "Si tanpa Nama"

315 49 2
                                    


Ayahku terbaring lemah, sudah selama tiga hari ia dirawat di rumah sakit. Aku masih belum mengetahui pasti apa penyebab penyerangan yang dilakukan terhadap ayahku. Namun, jelas banyak alasan dibaliknya. Entah karena hutang, dia yang mabuk sampai membuat keributan atau bahkan karena memperebutkan perempuan. Ia terlalu banyak memiliki musuh dalam hidupnya.

Rasa kasihan terkadang membuatku begitu mengasihinya, terlampau aku menyayanginya meski ia tak lagi berprilaku wajar sebagai seorang ayah. Ketika melihat wajah yang tak bugar lagi dan dipenuhi luka, itu membuatku tak kuasa menahan tangis. Apa alasan yang membuat ia berubah demikian menyeramkan seperti ini? Setan apa yang telah merasuki tubuhnya.

"Permisi, saatnya pemeriksaan."

Seorang suster ramah menepuk pundakku, itu pun sekaligus menyadarkanku dari lamunan. Buru-buru aku hapus air mata, kemudian berdiri dan mempersilahkan sang suster yang mengambil tempat untuk memeriksa.

"Besok ayahmu bisa pulang. Jadi, nanti tolong datang ke bagian administrasi untuk mengurus obatnya."

"Baik suster, terimakasih banyak."

Kemudian setelah melakukan beberapa pengecekan rutin, suster itu meninggalkanku untuk melihat pasien lainnya.

Tubuhku kembali melemas, kini aku harus kembali memikirkan cara untuk menebus obat dan membayar biaya rumah sakit. Aku sudah bertekad tidak akan meminjam atau meminta pada Jungkook, tapi kali ini aku sangat membutuhkan uang. Kalau aku tidak berhasil, maka ayahku yang akan terkena masalah dengan pihak rumah sakit.

Lekas aku beranjak, berniat pergi ke bagian administrasi. Setidaknya aku harus mengetahui berapa biaya keseluruhannya lalu mungkin meminjam setengahnya pada Jungkook. Aku tak berhak untuk bersikap keras kepala, keadaanku tidak pernah mengizinkan. Lagi pula orang miskin sepertiku patutnya tak pernah dianggap memiliki harga diri.

Setelah mengantre beberapa menit, tiba pada giliranku. Dengan telaten pekerja dibagian administrasi menjelaskan mengenai cara pengambilan obat, serta rincian harga dari rawat inap selama tiga hari, ia menjelaskan semuanya yang aku tanyakan. Namun, aku benar-benar terkejut saat mengetahui biaya rumah sakit dan obatnya yang ternyata sudah dibayarkan dengan lunas. Sungguh aku tak mengerti.

Karena panik aku menyuruh mereka untuk memeriksa lagi, takutnya salah nama atau ada nama pasien yang sama. Aku tidak tahu, pokoknya mustahil biaya rumah sakit ini sudah lunas.

"Yang teliti lagi, Bu."

"Ini saya sudah mengeceknya berulang-ulang dan data-data tersebut sudah benar dan lengkap. Ini memang sudah dibayarkan saat pasien pertama dibawa kemari, Nona. Kau hanya perlu mengambil resep obat saja. Silahkan."

Aku terdiam sejenak, pikiranku sepertinya kosong.

"Nona!!"

"Ah, maaf. Lalu, lalu siapa yang sudah membayarkan biaya rumah sakitnya?"

"Mohon maaf karena orangnya meminta untuk dirahasiakan jadi saya tidak bisa memberitahu."

"Tapi, saya butuh infonya!" Paksaku.

"Maaf Nona, banyak yang antre di belakang."

Aku menoleh ke belakang dengan putus asa dan melihat beberapa orang menatapku dengan sinis. Walau tidak puas dengan jawabannya, akhirnya aku pasrah. Aku kemudian duduk di salah satu bangku tempat orang-orang biasanya menunggu nama mereka dipanggil untuk menebus obat, aku terduduk melamun. Pasalnya hal ini sama sekali tak membuatku lega, ini malah membuatku semakin bingung.

Dear Friend "I LOVE YOU" - JJK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang