1. Panitia

739 111 35
                                    

1. PANITIA

19 Maret 2018
Pondok Gede, Jakarta Timur

Kenalin, namaku Maudy Hakim. Aku baru saja lulus SMA. Kelulusanku disambut sujud syukur oleh Ayah-Bunda karena akhirnya nilai UN-ku masuk standar di universitas negeri. Aku juga senang, benar-benar senang karena ini adalah prestasi keduaku sepanjang hidup. Prestasi pertama: juara ke-1 lomba makan krupuk Agustusan 10 tahun lalu.

Kata teman-teman, guru, bahkan Ayah dan Bunda, IQ-ku bukan hanya jongkok, tapi sangat tiarap. Kadang aku kesal dibilang begitu, tapi rasa sayangku pada mereka menggugurkan amarahku. Lagipula aku tahu mereka cuma bercanda, walau kadang-kadang terdengar serius juga. Hahaha.

Sambil tidur-tiduran, sengaja ingin kutulis sebuah kisah di hapeku. Kisah yang tidak pernah kupercaya ada dalam hidupku, namun terjadi. Kisah yang entah dari mana jatuhnya, kadang bikin aku senyum-senyum sendiri mengingatnya. Kadang ada kesalnya juga kalau diingat-ingat lagi kelakuan dia padaku.

Iya, seperti tebakan kalian, ini adalah kisahku. Kisahku dengan seseorang, dan orang-orang lainnya.

Setahun yang lalu

Seperti disambar geledek rasanya saat Bagas (Ketua Angkatanku), bilang bahwa aku diikutsertakan sebagai panitia reuni akbar sekolahku. Aku setengah sadar setengah tidak saat Bagas bilang begitu padaku. Rasanya seperti aku benar-benar disambar geledek.

Selama ini yang aku rasa, Bagas sang Ketua Angkatan yang congkaknya setengah mati itu, nyaris tak pernah menganggapku sebagai manusia berotak yang bisa diikutsertakan di dalam organisasi (tim 'hore-hore' juga bolehlah) di OSIS atau angkatan. Tapi tidak, kata Bagas, dia mau orang-orang yang cekatan yang dilibatkan pada setiap projek yang digarapnya. Jadi intinya, bagi Bagas, aku ini masuk dalam kategori manusia yang tidak cekatan.

Kadang aku berpikir, Bagas itu seperti Pak Polisi di ujian praktek SIM motor. Berkali-kali aku disuruh cekatan supaya kakiku tidak sampai turun dari motor saat mengerem setelah menarik gas dalam kecepatan 30 kilometer per-jam. Lima kali ujian praktek SIM, aku selalu gagal. Pak Polisi bilang, aku tidak cekatan.

Tapi bimsalabim ketika ujian praktek keenam, aku bisa dapat SIM motorku. Rahasianya bukan karena cekatan, karena Ayah bosan mengantarku ke Daan Mogot dari Pondok Gede, ia pakai jurus jitu khas negeri ini: 'orang dalam'.

Dan si Bagas, khusus hari ini, berlaku tidak seperti Pak Polisi itu. Aku mungkin sudah dianggap cekatan olehnya sehingga aku masuk dalam jajaran kepanitiaan projek besar yang tidak main-main: reuni akbar sekolah. Dan, tidak main-main juga, Bagas memberiku mandat dan jabatan yang sangat istimewa dan begitu terhormat untukku: seksi konsumsi spesialisasi jagain semangka di meja prasmanan acara nanti.

"Bisa kan, Dy?" kata Bagas sekali lagi sambil menunggu jawabanku.

"Eh? Gimana ya?" kataku sedikit grogi sekalian menaikkan harga diri.

"Gak bisa?" kata Bagas dengan ekspresi yang seolah harga dirinya tak bisa diturunkan lagi.

"Bisa!" kataku dengan cepat.

"Oke,"

Lalu ia pergi, tanpa kata-kata lagi. Ingin kutendang kepalanya, benar-benar si Bagas itu. Tapi aku senang, yeay! Aku jadi panitia jaga semangka. Terima kasih, Bagas!

Sedang senang begitu, dari kejauhan kulihat Rafi--pacarku selama empat bulan ini--melambai dan tersenyum padaku. Begitu dekat, dia segera menyapaku dengan sapaannya yang khas.

"Hai, cantik," kata Rafi. Aku hanya tersenyum untuk membalasnya.

"Udah makan?"

"Udah," kataku.

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang