11. Dendam

145 31 6
                                    

11. Dendam

Sudah tiga hari ini Rafi terus saja menghubungiku dan bertanya soal perasaanku padanya. Tak kubalas satu pun pesan darinya. Harusnya kalau dia bisa berpikir, apakah seseorang yang telah dipermalukannya di depan umum akan jatuh cinta padanya? Mungkin iya ada wanita yang bisa begitu di dunia ini, tapi aku sungguh tidak.

Aku tidak suka cara Rafi menyebutku dengan sebutan Cewek Kardus. Tapi biarlah, aku harus memaafkannya. Hari kemarin biarlah begitu, yang penting adalah hari ini.

Sejujurnya, mendengar cerita Bagas tentang perjuangannya untuk menjadi nomor satu di sekolah, membuatku termotivasi. Oh ya, dari Bagas juga aku banyak tanya soal Kak Rumi ketika di rumah. Bagaimana ia, apa kesukaannya, dan apa keburukannya.

Kata Bagas, Kak Rumi itu anak bungsu. Dua kakaknya adalah perempuan dan telah memiliki banyak anak.

"Wah, Kak Rumi sering banget main sama keponakannya. Dia suka anak kecil," kata Bagas.

"Siapa nama ponakannya?" kataku penasaran.

"Hana, Zara, Nabil, Diba, Caca, Hafsa, terus masih banyak lagi,"

"Siapa? Siapa? Sebutin," kataku tanpa sabar.

"Mizi, Luthfi, Bunga, Eza, Shakka,"

"Banyak banget," kataku dan Syahnaz dengan takjub.

"Iya, namanya juga keluarga besar," Bagas cekikikan.

"Waktu gue SD, Kak Rumi sering beliin gue majalah Bobo. Baik banget dia,"

"Kamu baca majalah Bobo? Hahaha," Syahnaz tertawa geli.

"Iya, kan waktu SD, Yang," kata Bagas ke Syahnaz.

"Pantesan kamu imut," Syahnaz mencubit-cubit pipi Bagas dengan gemas.

Adegan ini, membuat mataku kelilipan.

"Terus, orangtuanya Kak Rumi kerja apa?" tanyaku.

"Ayahnya Kak Rumi, Pak Tito, pengusaha ekspor-impor. Kalau ibunya, punya usaha kuliner,"

"Pantes Kak Rumi juga punya bakat bisnis!" seru Syahnaz.

"Kupingnya Kak Rumi pasti panas nih, setiap hari kita ngobrolin dia melulu. Sekali-kali harusnya kita ngobrolin kumisnya Pak Mochtar," Bagas tertawa kecil.

Iya, kupikir-pikir, belakangan ini obrolan kami hanya seputar Kak Rumi. Bagi Bagas dan Syahnaz hal itu pasti membosankan, aku bisa maklum.

"Gas, kalo lo ngajarin Syahnaz algoritma, gue ikutan dong,"

"Algoritma aja? Kalo Syahnaz hampir semua mata pelajaran,"

"Iya, Dy. Gabung aja yuk, tiap jam istirahat kayak gini aja kita belajarnya. Sama setiap minggu sore,"

"Boleh, Gas?" tanyaku ke Bagas.

"Ayo aja,"

"Makasih, Gas," kataku. Bagas pun mengangguk.

"Rafi masih suka nelepon lo, Dy?" kata Syahnaz sambil menyuapi batagor ke mulut Bagas.

"Masih, tapi gak gue angkat,"

"Sakit jiwa tuh anak! Abis ngata-ngatain, malah minta balikan, huh!"

"Hati-hati, Dy. Kawanannya Rafi isinya tukang berantem semua, lu jangan terlalu dingin. Sekali-kali bales aja chatnya," kata Bagas.

Syahnaz memukul pundak Bagas dengan pelan. "Apaan sih kamu? Masa dibales chatnya Rafi?"

"Iya, daripada Rafi ngapa-ngapain Maudy, bisa kacau urusannya. Rafi kan nekat,"

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang