7. LDR

151 35 1
                                    

7. LDR

Awalnya aku berpikir Kak Rumi itu sedikit mengekang karena belum apa-apa saja dia sudah memberiku surat peraturan menjalani hubungan selama dia tidak ada. Jujur saja, kalau iya dia begitu, aku pasti bete total. Tapi dugaanku salah, kalian baca deh isi peraturannya:

1. Dilarang curhatin gue ke abang-abang ojek online
2. Dilarang jadi koruptor
3. Dilarang jadi cowok
4. Dilarang selingkuh sama Pak Mochtar (kasihan anaknya)
5. Dilarang nyinyirin Syahnaz-Bagas
6. Dilarang bikin gue cemburu

Apa coba? Ngeselin, kan, dia? Masa iya aku selingkuh sama Pak Mochtar? Hahaha. Tapi poin yang nomor enam, bikin aku senyum lebar. Poin yang nomor lima, masih dalam proses! Maaf ya, Syahnaz dan Bagas!

Ah, aku rindu Kak Rumi. Lagi. Lagi dan lagi.

Karena sekarang aku ini pacarnya, aku tak malu lagi jika mau follow sosmednya duluan.

Tak lama, ia langsung folbek. Segera saja aku chat dia.

"Kak," kataku.

"Napa, Lek? Jelek," katanya.

Aku tersenyum, baru kali ini ada orang yang memanggilku dengan panggilan 'jelek' tapi aku justru senang.

"Kakak lagi apa?"

"Lagi sibuk. Lu ngapain belum tidur? Tidur sana!"

Kesal! Kak Rumi kenapa gak selembut kemarin, sih? Ketusnya kumat lagi.

"Gak usah ngambek, norak tau!" balasnya lagi.

"Bodo!" balasku singkat. Lama kutunggu, tak ia balas lagi.

Gak peka! Dasar rambut uban! Tanyain aku dong, aku mau ditanya. Lama aku tunggu, tak ada lagi chat yang masuk darinya. Huh!

* * *

Siang ini, aku dan Syahnaz pergi ke Blok M, mau cari buku untuk Bagas. Kata Syahnaz, di Blok M ada satu toko buku loak, toko itu menjual buku-buku terbitan lama yang sudah sangat langka dengan kualitas orisinil.

"Kalau kita nyari di Gramed, gak bakal dapet, Dy," kata Syahnaz.

Sebelum berangkat ke sini, ketika dengar Syahnaz mengajakku ke toko buku, aku keheranan setengah mati. Selama aku berteman dengannya, dia tak pernah sama sekali tertarik dengan buku. Buku sekolah saja tak pernah ia baca. Maka ketika ia mengajakku ke toko buku, kupikir Syahnaz lagi kerasukan.

Tapi setelah kutanya padanya dengan obrolan ala dukun-dukun pawang kesurupan: saha eta? Syahnaz langsung teriak dari telepon: aing teh macan, macan cinta! Cinta nu Bagas! Maudy gelo!

Aku langsung tertawa. Ternyata Syahnaz sehat walafiat. Dia cuma jatuh cinta. Mau kasih kado buku katanya untuk Bagas, besok Bagas ulang tahun.

"Emang Bagas suka buku apa, Naz?" kataku begitu sampai di toko buku loak di Blok M.

"Gak tahu, gue juga bingung," kata Syahnaz sambil melihat-lihat tumpukan buku yang diletakkan di lantai kios.

"Cari buku apa, Neng?" kata bapak si pemilik kios.

"Cari buku, Pak," kata Syahnaz dengan bodoh.

"Iya buku atuh, namanya juga toko buku. Buku apa judulnya?" kata si bapak pemilik kios sambil sedikit tertawa.

"Kalau buku buat cowok, bagusnya buku apa, Pak?" tanya Syahnaz

"Cowok?" si bapak pemilik kios nampak berpikir keras. "Masih muda cowoknya?" tanya si bapak pemilik kios ke Syahnaz.

Syahnaz mengangguk.

"Sebentar," si bapak langsung menaiki kursi dan mengambil salah satu buku yang ada di rak teratas di kiosnya.

Si bapak pemilik toko memberikan buku tersebut pada Syahnaz. Bukunya berdebu dan Syahnaz mencoba menyingkirkan debunya. Kulihat, tak ada judul atau tulisan apapun di cover buku itu. Mungkin karena buku lama, tulisan di covernya telah pudar dan menghilang.

"Buku ini best seller di zamannya. Buku langka. Tinggal satu, ini doang aja," kata si bapak pemilik kios sambil menyeka keringatnya.

"Judulnya apa ini, Pak?" kataku dengan heran.

"Lupa bapak teh judulnya apa, tapi ini buku cocok buat lalaki yang masih muda," kata si bapak.

"Oh gitu, Pak. Berapaan ini, Pak?" tanya Syahnaz.

"Seratus lapan puluh,"

"Duh, mahal banget, Pak. Gak kurang lagi?" tawar Syahnaz.

"Buku langka soalnya, Neng. Palingan kalau kurang, cuma dikurangin goceng doang aja buat si Eneng,"

"Goceng doang, Pak, kurangnya?" kataku.

"Goceng juga lumayan atuh buat beli tahu bulet,"

"Bisa aja nih, Bapak," kata Syahnaz sambil mengeluarkan uang untuk membayar.

"Makasih ya, Pak," kataku dan Syahnaz sambil pamit.

Usai dari toko buku, aku dan Syahnaz pergi ke restoran cepat saji untuk makan dan beristirahat sebelum akhirnya kami harus berdesak-desakkan lagi di Transjakarta.

"Dy, Kak Rumi gimana?"

Tiba-tiba saja mood-ku langsung tak enak dengar Syahnaz bertanya soal Kak Rumi.

"Dy?" tanya Syahnaz lagi.

"Gak ada kabar dari dia," kataku sambil menghela nafas.

"Dari pas dia nembak lu di sekolah?"

"Iya,"

"Dia gak ngasih kabar? Udah hampir sebulan gini?"

Aku mengangguk.

"Aneh, deh, tuh orang," kata Syahnaz lagi.

Setuju! Kataku dalam hati.

"Jangan-jangan dia nikah sama bule Amrik, Dy!"

"Ya enggaklah! Calon istrinya ada di sini,"

"Pede amat lo! Hahaha. Ditinggal kawin nyaho!"

"Tapi serius ya, Naz, Kak Rumi itu aneh deh kayaknya. Kadang dia kayak malaikat buat gue, tiba-tiba nongol, terus bikin gue berbunga-bunga. Kadang dia kayak orang yang gak kenal gue sama sekali,"

"Lu udah coba ngubungin dia?"

Kuperlihatkan semua chattinganku ke Syahnaz. Mulai dari aku tanya Kak Rumi sedang apa, sudah makan belum, lagi sibuk ya? Lagi kerja ya? Kangen aku gak? Dan lain-lainnya lagi, tak ada satupun chattingan itu dibalasnya.

"Tapi ini chat dibaca dia lho, Dy!"

Aku mengangguk. Memang, selama Kak Rumi di Amerika, tak satupun chattinganku dibalas olehnya.

"Di sering posting di sosmed gak?"

"Sering, soal liputan dia aja,"

"Ih, ngeselin asli! Sok iyeh banget sih dia," kata Syahnaz dengan jengkel sambil menyeruput minumnya, "Untung ganteng!"

Aku tertawa kecil. Syahnaz memang selalu bisa mencairkan suasana. Beruntungnya aku punya sahabat seperti dirinya.

Yang kutahu dari cerita-cerita cinta, kebanyakan kisah LDR selalu diwarnai dengan cerita manis dengan bumbu-bumbu kerinduan. Tapi yang kurasakan, hanya kisah soal kesepianku yang tak berujung. Kadang aku berpikir, apakah mungkin ini karena karma pada Rafi? Tapi, bukan maksudku ingin menyakiti Rafi, aku hanya tidak bisa mencintainya meski telah kucoba.

Kak Rumi, cepat hubungi aku.

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang