18. Depresi

178 24 0
                                    

18. Depresi

Dari ruang tamu rumah Kak Rumi, tubuhku bergetar hebat. Air mataku tak henti-hentinya menetes. Syahnaz dan Bagas ada bersamaku, ia tahu dengan apa yang terjadi dengan Kak Rumi setelah kukabari.

Selagi tubuhku bergetar syok begini, Kak Rabiah (kakak perempuan Kak Rumi yang nomor dua) mendekapku dengan kasih. Ia berkali-kali mencoba menenangkanku di saat harusnya akulah yang menenangkannya.

Aku tak sanggup mendengar teriakan Kak Rumi dari kamarnya di lantai dua. Di sana, ia bersama ayahnya dan Dokter Hermawan. Berkali-kali kudengar Kak Rumi membanting barang-barang sambil terus berteriak.

"Jangan nangis," kata Kak Rabiah sambil menghapus air mataku. "Ruminya mau sembuh kok kamu nangis?"

Kudekap balik Kak Rabiah, aku menangis sejadi-jadinya di pelukan wanita yang satu darah dengan orang yang amat kucintai.

"Gas, boleh minta tolong?" kata Kak Rabiah. Bagas mengangguk.

"Kakak abis pesan seafood tadi, belum sempat dimakan. Kamu ajak Syahnaz makan ya,"

"Eh? Tapi, Kak... " Bagas kikuk.

"Belum makan, kan?" Kak Rabiah tersenyum. "Ajak Pak Maman juga ya,"

Dengan gugup, Bagas menuruti kata-kata Kak Rabiah. Syahnaz membuntuti Bagas dan lalu menatapku sebentar lalu pergi.

Kupikir-pikir, tanpa terasa Bagas dan Syahnaz sudah berjam-jam bersamaku. Mereka pasti lapar dan juga lelah. Mereka bahkan masih memakai seragam sekolah saking kaget ketika kuhubungi dengan apa yang terjadi soal Kak Rumi.

"Kamu makan juga ya, Dy," kata Kak Rabiah sambil membelai keningku.

Aku menggeleng. "Aku gak lapar, Kak,"

"Otakmu gak lapar, tapi tubuhmu pasti lapar, kan?" Kak Rabiah tersenyum lagi. "Mau ya?"

"Nanti aja deh, Kak,"

"Mama!" kata seorang anak kecil kira-kira usia sembilan tahun menghampiri Kak Rabiah. "Om Rumi sakit lagi ya?" katanya dengan murung.

"Mau sembuh tapi," Kak Rabiah memeluk anak kecil itu lalu membelai kepalanya.

"Oh iya, ini Kak Maudy, pacarnya Om Rumi," kata Kak Rabiah ke anak kecil tadi. "Ayo kamu saliman,"

Anak laki-laki itu memandangku sejenak dan lalu meraih tanganku untuk bersaliman. "Aku Nabil, Kak,"

"Halo, Nabil," aku menggenggam tangannya yang kecil. Tersenyum padanya, Nabil hanya diam.

"Nabil anak ketiga. Anak Kakak ada lima, banyak ya?" kata Kak Rabiah padaku.

Aku begitu takjub mendengarnya. Kak Rabiah yang nampak begitu muda, tak disangka telah memiliki lima anak.

"Punya banyak anak itu rezeki kalau kata orangtua, ikutin ajalah. Lagian kalau dengerin pemerintah suruh punya anak dua, rumah kita jadi sepi, jadi gak berantakan. Kalau gak berantakan, gak pernah beres-beres rumah. Kalau gak beres-beres rumah, rumahnya gak keurus. Kalau rumahnya gak keurus, nanti jadi rumah hantu," Kak Rabiah tertawa.

"Kesimpulannya, punya banyak anak itu bisa buat menangkal hantu," Kata Kak Rabiah dengan tawanya yang khas. Tanpa sadar, aku ikut tertawa.

Lalu Kak Rabiah berbisik pelan padaku. "Jangan dipercaya ya, itu cuma alasan ibu-ibu yang malas beresin rumah,"

Aku cekikikan. Kak Rabiah sungguh sangat pandai mencairkan suasana. Tanpa sadar, gundah di hatiku perlahan menghilang. Aku sedikit terhibur akannya.

"Nabil sama adek-adek dulu ya, nanti Mama nyusul,"

Nabil mengangguk lalu pergi meninggalkan kami.

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang