21. Zenith

316 36 12
                                    

21. Zenith

Seperti mimpi rasanya setelah tahu kalau aku dan Syahnaz satu tempat dalam melaksanakan ujian SIMAK UI 2018. Hanya saja, kami beda ruangan. Tapi tidak masalah, toh, yang terpenting aku dan Syahnaz bisa pergi bersama-sama ke tempat ujian yang sangat mendebarkan bagiku.

Sejujurnya, aku sangat tidak percaya diri untuk ikut SIMAK UI. Aku takut tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan ujian ini. Tapi entah kenapa, aku sangat ingin ikut. Aku sangat ingin membuat Ayah-Bunda bangga akan pencapaian akademisku.

Dan pagi ini, sambil menunggu Syahnaz di teras rumahnya, aku membaca doa. Aku berdoa semoga ujian ini memberikan manfaat untukku.

Amin!

Lalu, sebuah pesan dari Kak Rumi masuk. Aku tersenyum sambil segera kubaca pesannya.

"Kamu masuk ataupun enggak ke UI, kamu tetap masuk ke pelaminan bareng Kakak,"

Aku tertawa. Kak Rumi selalu pandai membuatku bisa tersenyum di saat genting begini. Kubalas. "Pagi-pagi jangan bercanda! Ngopi apa ngopi!"

Kak Rumi pun langsung membalas.

"Emangnya perempuan boleh dibercandain?"

Aku diam sejenak, mencoba menstabilkan perasaanku hingga aku dapat fokus menjawab pertanyaan Kak Rumi yang cukup rumit untuk dijawab bagiku.

"Kakak mau hidup bareng aku?" tanyaku.

"Insya Allah sampai ajal menjemput. Kakak mau hidup sama kamu. Will you marry me?"

Lagi-lagi aku diam. Tak tahu harus menjawab apa dengan segudang rasa bahagia yang tengah kurasakan! Tentu aku ingin menikah dan hidup bersama dengan Kak Rumi, tentu saja! Meski aku tahu Kak Rumi akan mempersilakanku untuk kuliah terlebih dahulu dan tak memaksaku untuk menikah secepatnya, tapi aku sungguh gugup untuk menjawabnya.

Aku jatuh cinta padanya. Aku ingin menjadi istrinya. Tapi, bagaimana bibirku mengatakan itu semua padanya? Ya Tuhan, aku masih anak SMA, bagaimana aku menjawab pertanyaan seserius ini?

"Sekarang yang perlu kamu jawab jangan pertanyaan tadi. Jawab aja dulu soal-soal SIMAK UI,"

Aku tersenyum dan membalasnya. "Iya, Kak,"

"Wah!" tiba-tiba kepala Syahnaz muncul dari pundakku. Ia menguntit dan membaca apa-apa yang aku dan Kak Rumi bicarakan!

"Lu baca ya, Naz?" tanyaku dengan panik.

"Semuanya," katanya dengan santai.

"Ih!" aku menarik rambutnya dengan gemas, sementara ia justru dengan bersusah payah menarik kepalaku untuk dipepetkan ke ketiaknya. Aku menghindar, tapi kalah! Kepalaku justru terkunci di antara ketiak dan lengannya.

"Kebetulan, gue belum cukur bulu ketek!" kata Syahnaz cekikikan.

"SYAHNAZ!!!"

* * *

Aku tidak pernah menyangka tanganku begitu mudah membulatkan jawaban di kertas ujian SIMAK UI tadi. Soal-soal ini seperti teman baik padaku. Aku bisa menjawabnya dengan mudah. Harusnya sedari dulu aku belajar banyak sebelum ujian apapun. Ternyata, belajar itu sungguh menyenangkan. Membantuku dalam hal-hal yang dulunya tak kusenangi.

Terima kasih, Bagas. Terima kasih, Syahnaz. Terima kasih, Kak Rumi.

Hari ini rasanya begitu ringan, cerah, dan syahdu. Ah, aku sungguh bersyukur menjadi diriku yang hari ini. Aku juga bersyukur karena Tuhan telah banyak mendatangkan orang-orang baik padaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang