10. Two Dancers

150 30 0
                                    

10. Two Dancers

Langit tidak selamanya biru, tidak juga selamanya mendung. Maka, kepiluan yang kualami akibat mendengar kenyataan tentang Kak Rumi harusnya bisa kuganti dengan kebahagiaan, kan? Tapi bagaimana caranya? Cara bahagia? Kebahagiaan tidak dibuang di jalan lalu kupungut. Mencarinya harus melibatkan pikiranku untuk memutuskan aku mau bahagia atau tidak.

Sejak kemarin, bayangan indah tentang Kak Rumi segera terhapus di hatiku. Hatiku kemudian menghujatnya dengan brutal, hati wanita tak kenal ampun. Tapi sebelum benar-benar rasa sayang di hatiku berubah benci padanya, aku ingin mendengar penjelasannya. Tak mau dari telpon, aku mau langsung bertemu.

Tak ingin kulewatkan gurat-gurat di wajahnya saat bicara dan menjelaskan perihal pernikahannya, aku ingin tahu kejujuran dari wajahnya. Aku ingin ia segera kembali ke Jakarta. Kali ini, bukan karena aku rindu, tapi karena aku kecewa.

Chat dari Syahnaz masuk.

"Dy, Bagas ngajak kita makan nasgor nanti malam. Gue sama Bagas nanti malam jemput ke rumah lo,"

"Makan nasgor di mana?" kataku.

"Di Senopati,"

"Jauh banget makan nasgor aja,"

"Iya, Bagas mau ngasih tahu kabar buat lo katanya,"

"Kabar tentang apa?" aku sedikit heran sejujurnya

"Gak tahu, dia gak ngasih clue-nya ke gue,"

"Ya,"

Tak lama, sebuah chat masuk lagi. Kupikir dari Syahnaz, ternyata dari Kak Rumi.

"Apa kabar, Pendek?"

Hanya kubaca, tak kubalas. Perasaanku hanya membeku untuknya. Sejenak kuingat-ingat bahwa benar adanya bahwa tak ada kisah cinta yang sempurna di dunia ini. Tak ada laki-laki yang sempurna. Tak ada perempuan yang sempurna. Dan tak pernah akan kembali lagi rasa cintaku padanya, pada Kak Rumi.

Kuputuskan untuk mengubur namanya dalam-dalam.

Selamat tinggal, Kak Rumi.

* * *

"Kenapa makan nasi goreng harus jauh-jauh banget, Gas?" kataku sambil mengunyah.

Si kunyuk Bagas tak menjawab, dia sibuk menyuapi Syahnaz--aku sudah mulai bisa beradaptasi dengan pemandangan ini.

"Tau, Yang! Kenapa harus makan nasgor di Senopati?" kata Syahnaz dengan mulut yang tengah mengunyah.

"Lo lihat rumah yang pagar hitam itu?" Bagas menunjuk sebuah rumah yang tak jauh dari tempat kami makan nasgor kaki lima.

"Rumah siapa emang itu?" tanyaku.

"Rumah Kak Rumi,"

Aku tersedak. Kata-kata Bagas mengagetkanku. Kulihat Syahnaz juga nampak terkejut. Dari mana Bagas tahu itu rumah Kak Rumi?

"Kok lo tahu itu rumah Kak Rumi?" tanyaku heran.

"Ayah gue sopir pribadi keluarganya Kak Rumi," kata Bagas kepadaku.

Sopir? Aku mulai menyimak dengan serius. Kulihat Syahnaz mulai menatap Bagas dengan tatapan dalam.

"Maaf selama ini gue gak pernah cerita soal pekerjaan Ayah, bukan karena malu, tapi karena gue ngerasa teman-teman harus menghargai gue karena diri gue, kerja keras, bukan karena kasihan ke gue. Lagian, kalian juga gak ada yang nanya kan soal pekerjaan Ayah?"

Syahnaz tersenyum lalu mengusap rambut Bagas dengan perlahan.

"Gue udah denger soal apa yang dimongin Kak Davis sama lo, Syahnaz cerita,"

Ya, bisa kumaklumi jika Syahnaz juga menceritakan itu pada Bagas. Kupikir Bagas adalah orang yang bisa dipercaya, aku cukup yakin akan hal itu.

"Apa yang diomongin Kak Davis gak semuanya benar, Dy. Tapi lo harus lihat ini," Bagas mengeluarkan selembar foto dari tasnya dan diberikan padaku.

Foto Kak Rumi bersama seorang wanita di ruang latihan dance. Dalam foto itu, si wanita terlihat bertubuh tinggi semampai, berambut panjang coklat dikuncir, dan tangan kanannya bersandar di pundak Kak Rumi.

"Itu Kak Luna, pacarnya Kak Rumi,"

Mendengar itu, hatiku begitu sakit. Cemburu, benci, tapi aku mau terus mendengarnya. Banyak hal yang tidak kuketahui dari Kak Rumi.

"Mereka memang pacaran sejak lama, tapi Kak Rumi gak pernah nikah sama Kak Luna,"

Entah kenapa, kata-kata Bagas membuat hatiku begitu lega. Beban di hatiku seakan lenyap, melayang tinggi tak berbekas di hati.

"Kak Rumi itu memang idola, bukan cuma waktu dia sekolah, di kampusnya juga, bahkan di rumah. Karena Ayah sopir pribadi keluarganya, masa kecil gue kebanyakan ya di situ, di rumahnya Kak Rumi,"

"Dari sana juga gue berpikir bagaimana caranya supaya bisa jadi cerdas kayak Kak Rumi, secara pribadi gue juga ngefans ke Kak Rumi. Makanya gue jadi kutu buku, ikutan organisasi, dan risikonya gue jadi jarang asik-asikan, makanya gue sering ketus kalau ngomong. Mungkin itu efek dari kurang gaul. Satu hal yang gue sadari, biarpun pintar, berbakat, organisatoris, Kak Rumi punya banyak teman, gak kayak gue," kata Bagas dengan nada yang parau.

Tiba-tiba aku tersentuh dengan Bagas, semangatnya untuk menuntut ilmu sangat tinggi. Dan yang lebih membuatku terharu adalah bahwa ia sangat termotivasi belajar karena Kak Rumi. Syahnaz menepuk pundak Bagas sambil menatapnya dengan tatapan menguatkan.

"Kak Rumi gak pernah punya pacar lain selain Kak Luna, mereka berdua idola angkatan mereka. Pasangan serasi," kata-kata Bagas sedikit tersendat, aku tahu ia mencoba memikirkan perasaanku saat mendengar ini.

"Terus mereka putus?" kata Syahnaz tanpa sabar.

"Tiga tahun yang lalu, Ayah pernah nganterin keluarga Kak Rumi buat datang lamaran ke keluarga Kak Luna. Seterusnya, Ayah juga heran kenapa gak pernah ada pernikahan, padahal lamaran itu diterima,"

Kutahan rasa piluku mendengar itu semua, ada dua hal yang kurasa: sakit dan aku semakin bertanya-tanya soal Kak Rumi dan Kak Luna.

"Gak lama, tiba-tiba Kak Rumi ngilang,"

"Ngilang?" kataku heran.

"Kata Ayah, Kak Rumi mungkin pergi ke luar negeri, gak tahu bisnis, gak tahu kerja, pokoknya dia gak ada di rumah. Abis itu gak ada kabar dari Kak Rumi yang gue dengar, kecuali pas dia konfirmasi tiba-tiba di acara reuni. Jujur aja, gue kaget banget dengar konfirmasi itu, apalagi dia mau bicara sambutan ngewakilin alumni,"

"Pernah gak Ayah lo nanya ke Ayahnya Kak Rumi?" tanyaku ke Bagas.

"Soal gimana kabarnya Kak Rumi?"

Aku mengangguk.

"Pernah, Ayah pernah nanya soal Kak Rumi, Pak Tito (Ayah Kak Rumi) cuma bilang kalau Kak Rumi sehat. Kalau soal jadi atau enggaknya pernikahan Kak Rumi, kayaknya Ayah gak berani tanya,"

Mendengar ini semua, hatiku cukup lega. Amarahku pada Kak Rumi mulai meredup, hatiku mencoba mencari-cari lagi namanya. Tapi, ada hal yang mengganjal di hatiku ini. Tentang masa lalu Kak Rumi, Kak Luna, dan keluarganya.

"Kenapa lo nyeritain gue soal ini, Gas?"

"Karena lo sahabat gue, Dy. Lo sahabat baiknya Syahnaz, dan Syahnaz adalah kebahagiaan gue. Maka lo juga bagian dari mozaik kebahagiaan gue, kan?"

Aku tersenyum, Syahnaz lebih-lebih. Dua kunyuk ini memang anugerah dari Tuhan untukku. Menaruh percaya pada mereka adalah hal yang sangat kusyukuri.

Segera kubuka hapeku dan kutulis sebuah pesan untuk Kak Rumi.

Aku sehat, Kak. Cepat pulang, aku gak selingkuh ke Pak Mochtar.

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang