4. Putus

161 47 2
                                    

4. Putus

Seminggu setelah kejadian konvoi Vespa, banyak hal yang begitu cepat berubah dalam hidupku, terutama soal sikapku ke Rafi. Dari kejadian di Jonggol, aku sadar aku tidak sama sekali mencintai Rafi. Aku bertahan dengannya hanya sebagai bentuk apresiasiku karena kebaikannya. Aku, jujur saja, belum siap untuk benar-benar berpisah dari Rafi.

Aku tak tahu, belakangan ini aku sering memikirkan Kak Rumi. Bukan karena aku suka padanya, tapi karena aku hanya heran saja mengapa dia banyak tahu soalku--bahkan sampai soal privasiku. Di mobil saat di Jonggol tempo hari, dia memarahiku panjang-lebar. Kuceritakan.

"Mau jadi kayak Biksu Tong Sam Cong jalan segitu jauh?" katanya memulai. "Jonggol-Jakarta itu jauh!"

"Iya maaf," kataku pelan.

"Ngapain minta maaf? Harusnya bilang terima kasih!"

"Iya terima kasih,"

"Sama-sama!"

Kak Rumi terus fokus mengendalikan mobilnya. Wajahnya tak sedikitpun senyum padaku.

"Belajar ngomong jujur sekali-kali!" katanya dengan nada ketus.

"Maksudnya?" sungguh aku tak paham maksud Kak Rumi apa.

Kak Rumi melirikku, baru kali itu rasanya tatapan mataku dan matanya bertemu.

"Kalau gak mau ikut konvoi, bilang ke Rafi! Jangan bodoh cari-cari alasan!"

Aku diam. Bagaimana Kak Rumi bisa tahu? Aku heran. Menurutku soal aku ikut konvoi, okelah dia bisa tahu, mungkin dia cari-cari tahu dari teman sekolahku. Tapi soal cari-cari alasan ke Rafi, aku sungguh heran dari mana ia bisa tahu?

Aku diam saja menanggapinya, aku bingung mau ngomong apa. Tapi, aku penasaran. Akhirnya kutanya juga.

"Kak, aku boleh nanya?" kataku dengan nada yang rendah.

"Gak boleh!"

"Nyebelin tau!" entah bagaimana bisa, tanganku refleks memukul pundaknya.

"Diem aja di situ, kita harus cepat sampai!" katanya dengan nada ketus seperti biasa.

Dia tak menatapku lagi, hanya fokus menyupir.

"Di dalam dashboard ada salep. Obatin kaki lu yang lecet!" katanya lagi.

Aku menuruti kata-katanya, mengambil salep dan mengoleskannya di kakiku yang lecet. Nyaman sekali rasanya, kaki ini bisa beristirahat, aku juga bisa duduk dengan nyaman. Diam-diam, aku mencoba menatapnya, kuperhatikan wajahnya dari tempatku duduk: Hey! Kenapa dia begitu manis?

"Bodoh! Muka lu kelihatan dari spion kiri, ngapain ngeliatin gue?"

Ya Tuhan! Aku malu setengah mati! Kenapa dia tidak bisa pura-pura tidak tahu saja sih? Aku ini kan perempuan, apa dia tidak paham kalau rasa malu perempuan itu sangat besar ketimbang laki-laki? Aku ingin sembunyi, malu sekali rasanya. Ingin kujambak-jambak rambutnya, kesal kali aku padanya.

"Awas naksir, cowok kayak gue itu limited edition, lho!" katanya dengan sedikit tertawa.

"Berak!"

"Cebok!"

"Pendek!"

Aku harus balas apa? Kak Rumi tinggi, badannya proporsional. Masa aku diam tak membalas? Gak rela!

"Kok diem? Nanti kesambet, lho," katanya dengan sedikit terkekeh.

"Biarin!"

"Kalo lu kesambet, gue turunin lu di sini. Ogah gue bawa orang kesurupan,"

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang