16. Pulau Sempu

134 25 0
                                    

16. Pulau Sempu

Sejak pagi, Kak Rumi menghubungiku berkali-kali. Tapi tak kuangkat. Aneh, hal yang sangat kutunggu-tunggu justru dengan enteng kuabaikan. Memang, saat ringtone hapeku berbunyi, ingin sekali kuangkat telepon darinya. Untuk kukatakan rindu, cinta, dan di mana Kakak?

Tapi tidak. Biar jarak ini semakin menjauh. Biarlah cinta pertamaku kandas begini. Bagai tisu yang diterpa hujan lebat, hancur berantakan. Aku tidak bisa bersama dengan Kak Rumi. Bukan, bukan dengan Kak Rumi, tapi dengan kekurangannya.

Aku hanya wanita biasa. Aku tak bisa menanggung susah. Tapi hatiku ini?  Sekeras apapun aku menolak Kak Rumi, hati ini terus menjerit memanggil namanya. Menyuruhku untuk mengangkat telepon darinya.

Ya Tuhan!

Akhirnya kuangkat.

"Halo?" suara berat Kak Rumi terdengar begitu lembut. Sedikit menghapus rinduku.

Aku hanya diam. Diam seribu bahasa.

"Kenapa? Kok diem aja?"

Aku masih belum mau bersuara.

"Ada yang salah?" kata Kak Rumi dengan nada yang cukup lembut. Aku tahu ia peka, ia sudah menebak bahwa ada hal yang salah yang kurasakan. "Gue cuma mau ngomong, nanti pulang sekolah, gue mau jemput lu,"

"Gak usah!" jawabku ketus.

Hening. Ya, sejenak hening. Kak Rumi belum berbicara lagi.

"Karena kondangan tempo hari?" katanya. Aku diam mengingat-ingat. Oh ya! Benar! Saat kondangan, Kak Rumi menghindari temannya yang membulinya dengan kata: pembunuh. "Karena itu?" Kak Rumi mengulang pertanyaannya.

"Saya mau masuk kelas!" ucapku dengan nada yang begitu ketus.

"Saya?" Kak Rumi mendengus. "Tiba-tiba gue gak suka kata itu: saya,"

"Kalau saya, gak suka sama anda!" sejenak, hampir kusesali mengucap kalimat ini. Tapi, aku lega. Lega yang penuh beban.

Kak Rumi terdiam untuk beberapa saat. Lalu ia kembali berucap. "Jangan bicara sesuatu yang kamu sendiri gak yakin akan hal itu,"

Deg! Aku langsung tak dapat berkata apa-apa lagi. Memang, aku tak yakin dengan apa yang kuucapkan. Tapi itu harus kukatakan, kan? Bukan aku senang harus berpisah jarak dan hati dari Kak Rumi, tidak sama sekali! Tapi ini harus kulakukan. Aku hanya takut. Aku sangat takut. Ya Tuhan, mengapa aku takut pada orang yang begitu kucintai? Salahkah aku?

"Jarak ini," kata Kak Rumi. "Kalau memang bisa bikin kamu nyaman, aku ikut maumu. Aku tahu, di hatimu masih ada aku,"

"Aku gak ke mana-mana, kamu harus ingat ini baik-baik. Ini cuma soal masa lalu,"

Tut tut tut

Sedetik setelah Kak Rumi menutup teleponnya. Air mataku langsung pecah. Ya Tuhan, dia pergi! Dia pergi karena sikapku. Orang yang kucintai telah pergi. Bagaimana aku harus menahan air mata ini? Air mata yang begitu menyesakki tenggorokanku tiap kali menahannya.

Syahnaz menghampiriku dengan tergopoh-gopoh. "Ya ampun, Dy, kenapa nangis?"

Segera saja kupeluk Syahnaz. Kusandarkan kepalaku di pundaknya. Syahnaz menepuk-nepuk pundakku dan terus berkata-kata untuk menenangkanku.

"Kak Rumi udah pergi, Naz. Gue jahat banget,"

Syahnaz menatapku dengan muram. Ia tahu, aku tak ingin Kak Rumi pergi. Tapi layaknya sahabat, ia hanya memberikan telinganya untuk mendengarkan semua keluh kesahku. Ia tahu, saat ini, hanya itulah yang kubutuhkan.

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang