20. Lembaran Baru

198 28 0
                                    

20. Lembaran Baru

Usai membaca buku-buku pelajaran untuk esok hari, tak ada yang kukerjakan di kasurku selain menunggu mataku untuk terlelap. Memikirkan yang bahagia-bahagia agar mataku bisa diajak kerjasama. Tapi hal yang paling ringan ini--kelopak mata--sulit sekali mengikuti mauku.

Aku menyerah.

Bagaimana jika aku menghitung domba? Iya, kata orang-orang begitu. Hitunglah domba jika engkau sulit terlelap. Baik, biar kumulai: satu domba, dua domba, tiga domba, empat domba, lima domba, enam domba (ah, mataku hampir telelap), tujuh domba, delapan domba, dan... Suara notifikasi hape berbunyi!

Gagal!

Dengan malas, kuraih hapeku. Kulihat ada dua pesan masuk: dari Kak Davis, dan dari Kak Josh. Kubuka lebih dulu yang dari Kak Davis.

"Malam ini hanya dirimu yang belum mencintaiku. Tidak, kau bukannya tidak mencintaiku, tapi kau hanya tertipu oleh si raja penipu. Semoga kelak kau kembali padaku!"

Membacanya, aku ingin tertawa. Ini puisi? Kenapa aku tidak tersentuh sama sekali? Yang kutahu, harusnya puisi adalah sesuatu yang menggugah hati. Ah, Kak Davis, maaf sekali.

Segera kubalas pesannya.

"Kak Davis, jika jatuh cinta dengan Kak Rumi dalam kamus hidup Kak Davis disebut sebagai 'tertipu', biarlah aku tertipu. Oh ya satu lagi, biarpun ini malam hari, aku menulis ini dalam keadaan sadar: aku benar-benar tidak mencintai Kak Davis,"

Kulanjutkan.

"Kalau Kak Davis berpikir Kakak itu orangnya keren, tajir, banyak yang naksir, selamat ya! Itu mungkin anugerah buat Kakak. Tapi bagaimana? Aku jatuh cinta pada orang yang Kakak sebut sebagai 'penipu'? Kuberitahu lagi: aku sangat mencintainya. Kak Rumi,"

Biarlah Kak Davis membaca pesanku. Aku hanya tak ingin berbasa-basi. Aku tak suka dengannya, ia harus tahu. Ini untuk kebaikannya. Ia harus menghabiskan waktunya untuk mencari wanita lain yang bisa mencintainya.

Tak lama, Kak Davis membalas pesanku.

"Dasar cewek tolol!"

Aku berusaha menahan amarahku. Biarlah ia katakan apapun yang ia suka, aku tak peduli. Lagipula, aku jadi benar-benar memahami apa arti dari sebuah kata mencintai. Cinta itu tak hanya sebatas kata-kata, perlakuan menjadi penting. Begitu kutolak, Kak Davis ketahuan belangnya, ia langsung menghujatku. Ia tak mencintaiku, aku sudah mengetahuinya sejak awal bertemu.

Tapi Kak Rumi? Meski pernah kuperlakukan tak adil, ia tetap menghargai keputusanku. Berusaha membuatku nyaman dengan cara menjaga jaraknya padaku. Ah, aku benar-benar menyesal pernah berlaku tak adil padanya! Tapi malam ini, aku benar-benar mengerti bahwa Kak Rumi begitu mencintaiku. Aku bersyukur telah menemukan laki-laki yang tepat sebagai pilihanku.

Lalu pesan kedua dari Kak Josh. Segera kubaca.

"Hai, Maudy. Hehehe," katanya dalam chat pertama.

"Maaf ya chatting malam-malam gini. Bukan gue mau ngegombalin elu ya (gue masih takut disuntik mati Rumi soalnya), tapi gue mau ngucapin makasih,"

"Berkat lu, gue sama Rini lega banget!"

Aku berpikir sejenak. Rini? Oh ya! Kak Rini tang tempo hari menikah! Yang membisikkanku kata-kata serupa yang dikatakan oleh Kak Josh.

"Sebagai teman, gue sama Rini sempat putus asa dengan kesembuhan Rumi. Dia hampir kehilangan segalanya, bahkan hidupnya. Lu datang di saat yang tepat, Dy. Makasih ya,"

Aku tersenyum membacanya. Segera kubalas.

"Aku yang bersyukur ketemu Kak Rumi, Kak. Makasih juga karena Kak Josh dan Kak Rini udah jadi teman yang baik buat Kak Rumi,"

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang