3. Vespa

198 47 5
                                    

3. Vespa

Usai reuni akbar yang melelahkan itu, sengaja ingin kuluangkan waktuku untuk Rafi. Dia mengajakku untuk ikut konvoi Vespa bersama komunitasnya. Aku mengiyakan undangan Rafi tanpa bilang ke Ayah dan Bunda karena Ayah pasti akan tanya soal SIM Rafi. Meski Rafi sudah tujuh belas tahun, tapi ia segan bikin SIM meski sudah kusuruh berkali-kali.

Dan jika tanpa SIM, Ayah pasti melarangku untuk ikut pergi bersama Rafi. Jadi, aku merahasiakannya dari Ayah dan Bunda. Aku hanya bilang pergi ke rumah Syahnaz, ada tugas sekolah. Sungguh kebohongan klasik khas anak SMA, bukan?

Ayah Bunda, maafin Maudy ya.

"Kamu jadi pergi?" kata Bunda memecahkan lamunanku.

"Jadi, Bun,"

"Syahnaz gak jemput?"

"Enggak. Janjian aja, Bun, di depan Taman Mini,"

Kucium kening Bunda dan segera pamit. Dalam hati aku berdoa agar tidak kualat karena sudah membohongi orangtua. Rafi menunggu langsung di Taman Mini, komunitasnya akan memulai konvoi dari sana. Sementara aku yang saat ini ada di dalam angkot menuju Taman Mini, sedang deg-degan setengah mati. Aku sungguh tak pernah berbohong pada Ayah dan Bunda.

Rafi, kenapa kamu gak bikin SIM sih?!

Gak adil juga rasanya kalau aku menyalahkan Rafi karena ini, ini juga ada andilku. Mengapa aku iyakan maunya Rafi? Mengapa aku harus ikut konvoi Vespa? Tapi, aku suka Vespa, aku suka mesin skuter itu! Ayah-Bunda, sekali lagi maafin Maudy.

Taman Mini sudah terlihat dari dalam angkot yang kutumpangi. Kulihat jejeran motor Vespa berbaris rapi menunggu yang lainnya untuk segera konvoi menuju Bogor. Dan aku, meski senang melihat Vespa-Vespa itu, tetap saja hatiku tidak nyaman. Pikiran buruk terus saja menghantuiku: bagaimana jika di perjalanan aku dan Rafi tertabrak? Jatuh ke jurang, terlindas kontainer, atau dikubur gempa bumi? Kalau itu semua terjadi, Ayah dan Bunda pasti sangat kecewa, aku mati sia-sia dan dalam keadaan dusta pada mereka.

Begitu angkot makin mendekat, rasa khawatirku makin menjadi, ingin kuurungkan rasanya perjalanan ini. Tapi dari luar angkot, kulihat Rafi melambaikan tangannya dan tersenyum padaku. Refleks saja, aku merasa tak enak jika mengurungkan niatku. Jadi, aku langsung membayar ongkos angkot dan langsung menghampiri Rafi.

"Hai, Cantik!" kata Rafi sambil memberikan sesuatu yang dibungkus plastik untukku.

"Apa ini?" tanyaku sambil memerhatikan bungkusan plastik itu.

"Buka aja,"

Kubuka bungkusan plastik itu dan segera kutahu apa isi di dalamnya: jaket retro berwarna pink.

"Buat kamu," kata Rafi.

"Makasih ya,"

"Suka?"

"Suka banget,"

"Ya udah, yuk! Konvoinya udah mau dimulai," Rafi menggandeng tanganku dan membawaku ke motor Vespa abu-abunya.

"Kita ke Bogor mana sih, Fi?"

"Bogor?" Rafi bertanya balik padaku sambil keheranan. "Aku gak bilang Bogor, kita konvoi ke Bandung,"

"What? Bandung?" aku kaget setengah mati. Bandung cukup jauh jika ditempuh dengan motor, kan? Tak mungkin rasanya bisa pulang sore sampai rumah.

"Iya,"

"Ki.. Kita pulang jam berapa?" kataku dengan ragu.

"Jalan aja belum, masa udan nanyain pulangnya?" Rafi tertawa kecil, tanpa sedikitpun menghiraukan kecemasan yang ada di wajahku.

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang