9. Luna Maharani

141 35 3
                                    

9. Luna Maharani

"Satu semester lagi lho," kata Ayah padaku saat makan malam. "Sudah tahu mau ambil jurusan apa pas kuliah nanti?"

Aku diam saja sambil mengunyah ayam gorengku. Pusing aku kalau ditanya begitu oleh Ayah, aku tak ada bayangan mau ambil jurusan apa kuliah nanti. Boro-boro sempat memikirkan mau ambil jurusan apa, ulangan biologi di depan mata saja sudah bikin kepalaku mumet.

"Ditanya Ayah, kok, diam?" kata Bunda sambil menyenggol tanganku.

"Yang penting lulus aja dulu lah, Yah," kataku dengan malas sambil mengunyah timun dengan gertakan keras.

Entah kenapa, pikiranku melayang ke Kak Rumi. Tiba-tiba semua yang kulihat berubah menjadi bayangan Kak Rumi, bahkan sayur asem yang ada di meja makan juga berubah jadi Kak Rumi. Kak Rumi racun!

"Memang kamu gak punya cita-cita?" tanya Ayah lagi.

Aku diam. Tanpa ekspresi. Aku hanya sibuk memikirkan Kak Rumi. Bunda menyenggolku lagi.

"Kenapa, Bun?" kataku dengan sedikit kaget.

"Ayahmu nanya, kamu emang gak punya cita-cita?" kata Bunda.

"Ada dong, Yah," kataku sekenanya.

"Apa cita-citamu?" kata Ayah.

"Ke Amerika,"

"Kamu mau ambil kuliah di Amerika, lalu jadi dokter di sana?" kata Ayah begitu antusias.

"Bukan, Yah. Aku mau ketemu Kak Rumi,"

"Kak Rumi?" kata Ayah sambil mengulang kata-kataku dengan heran.

"Itu lho, Yah, alumni sekolahnya Maudy yang mirip Junhoe iKON, yang waktu itu ke rumah anter Maudy, yang rambutnya dicat abu-abu," kata Bunda sambil menyendoki Ayah sayur asem.

"Junhoe siapa? iKON apa?" kata Ayah tambah heran.

"Suka sama Maudy itu katanya si Kak Rumi," kata Bunda.

"Baik orangnya?" tanya Ayah padaku.

Aku diam saja. Otakku belum setuju kalau Kak Rumi dibilang baik, tak setuju juga jika kubilang jahat.

"Ya udah, gak usah dipikirin dulu si Kak Rumi itu, pikirin kuliahmu dulu. Masuk negeri kalau bisa, belajar yang rajin," kata Ayah lagi.

"Iya, Bunda jarang lihat Kak Maudy buka-buka buku," sambung Bunda.

Di meja makan ini, fokus Ayah-Bunda adalah menasihatiku berestafet. Sementara adikku Manda--si ratu kegelapan--dapat mengunyah ayamnya tanpa beban. Kesal!

Manda melihatku sambil cekikikan. Sementara itu, Ayah-Bunda terus menasihatiku bergantian. Kompak sekali mereka! Pantas jodoh.

* * *

Kalian masih ingat Kak Davis, kan? Kakak kelasku yang lulus tahun kemarin. Kalian pasti ingat. Aku belum cerita ke kalian, tempo hari usai pulang dari acara ulang tahun Bagas, sesuai dugaanku, Kak Davis langsung menelpon begitu aku sampai rumah.

Kuceritakan.

"Sudah di rumah, Dy,"

"Sudah," jawabku dengan kaku.

"Sekarang lagi mau ngapain?"

Aku jujur saja tidak tahan dengan basa-basi ini. Terlebih, yang berbasa-basi adalah Kak Davis.

"Kakak mau nanya apa soal reuni? Tanya sekarang aja,"

"Gak usah buru-buru dong, Dy. Santai aja,"

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang