14. Bersahabat

134 26 0
                                    

14. Bersahabat

Sudah dua hari sejak kejadian di acara kondangan itu, Kak Rumi tidak lagi ada kabar. Teleponku tak diangkat, pesanku juga tak dibalas. Kutanya Bagas, ia juga tidak tahu. Karena itulah, aku sengaja memutuskan untuk menceritakan duduk perkaranya ke Bagas dan Syahnaz tentang apa yang terjadi.

"Masa kamu gak tahu sih, Yang?" kata Syahnaz ke Bagas berkali-kali, sedari tadi, seolah ia tidak percaya jika Bagas benar-benar tidak tahu tentang kabar Kak Rumi.

"Aku gak tahu, Yang, beneran,"

Sejujurnya, aku sedikit mencurigai Bagas soal pengetahuannya tentang Kak Rumi. Mungkin iya Bagas tidak tahu kabar Kak Rumi dua hari belakangan ini, tapi soal pengetahuannya tentang siapa itu Kak Rumi, kurasa ia lebih tahu dariku dan ia tidak mau memberitahukannya.

Melihat tingkah laku Bagas yang aneh soal Kak Rumi, segera saja kutunjukkan lagi padanya kartu nama dr. Hermawan.

"Lu yakin gak kenal dokter ini, Gas?" kataku berusaha mendesak Bagas.

Bagas sempat diam sejenak, lalu ia berekspresi mengelak.

"G... Gak tahu, Dy. Kalau tahu, ngapain gak gue kasih tahu elu, kan?"

Tiba-tiba dari luar kelas terdengar suara gaduh yang cukup riuh. Aku, Bagas, dan Syahnaz segera berebut tempat di dalam kerumunan siswa lainnya untuk melihat ke arah lapangan, arah yang menjadi pusat perhatian.

Setengah tak percaya, kulihat Rafi melangkah memasuki kelasnya lengkap dengan seragam putih abu-abu.

Rafi sudah bebas?

Hampir seluruh siswa menyorakinya, mengumpatnya dengan kata-kata yang tak patut, dan meledeknya. Sementara itu kulihat Rafi terus saja cuek berjalan menuju kelasnya. Wajahnya dingin tanpa ekspresi

Pada jam istirahat, aku teringat kejadian tadi pagi di mana Rafi disoraki siswa satu sekolah, dicemooh. Meski aku tidak bisa membenarkan apa yang telah dilakukan Rafi--terlebih ia melakukan tindakan berbahaya itu pada orang yang kusayang--tapi sejujurnya aku juga kasihan Rafi diperlakukan begitu.

"Gas, kata lu Rafi diskors? Kok dia bisa sekolah hari ini?" kataku heran ke Bagas.

"Itu dia yang gue heran, Dy. Padahal Pak Noval udah bilang dia bakal diskors dua minggu,"

"Iya, aneh," gumamku pelan.

"Yang," kata Syahnaz ke Bagas. "Batagornya rasa apa?" Syahnaz mulai uget-ugetan.

"Rasa pedes manis gitu,"

"Aaaaah, kok gak rasa aku sih?"

"Oh iya lupa, rasa kamu: manis!"

Huek!

* * *

Dua hari belakangan ini, siswa-siswi di sekolahku terus saja menggunjing Rafi. Mereka bilang Rafi gak bermoral, bersumbu pendek, sampai dibilang layak untuk dikeluarkan dari sekolah. Setiap Rafi muncul, baik itu di lapangan, kantin, lorong kelas, ruang laboratorium, ia selalu dibuli oleh siswa lainnya.

Keempat teman Rafi juga ikutan dibuli, tapi tidak sekejam yang diterima Rafi. Pernah di kantin, tukang batagor kami--Pak Kris--juga menolak Rafi untuk membeli batagornya. Alasannya, Pak Kris belum terima dengan kelakuan Rafi kepada orangtua macam ayahnya Bagas yang dianiaya oleh Rafi.

Syahnaz dan Bagas apalagi. Mereka berdua selalu sewot jika membicarakan Rafi. Bagi mereka, tak ada kata baik lagi yang bisa mendeskripsikan Rafi. Aku? Aku pun sama dengan mereka semua, membenci Rafi hingga ke ubun-ubun. Andaipun bukan Kak Rumi dan ayahnya Bagas yang diserangnya, aku tetap membenci Rafi. Kelakuannya sudah di luar batas.

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang