19. I am A Dancer, A Lover!

171 26 0
                                    

19. I am A Dancer, A Lover!

Kak Rumi mengganti warna rambutnya menjadi pirang, ia kini bukan lagi laki-laki 'ubanan', tapi laki-laki yang 'kebakaran'. Warna pirang ini semakin membuatnya nampak dua tahun lebih muda (meskipun wajah dia sudah sangat baby face). Entah kenapa untuk urusan rambut, Kak Rumi sangat ingin terlihat sempurna.

Harusnya, di mana-mana, seorang laki-laki yang menunggu wanitanya nyalon, tapi ini terbalik. Aku yang menunggu Kak Rumi cuci rambut di salon!

Sudah hampir sejam, majalah-majalah yang disediakan di salon telah habis kubaca, Kak Rumi belum selesai juga. Karena bosan menunggu, akhirnya kutelepon Syahnaz.

"Halo, Naz,"

"Kenapa, sayang?" kata Syahnaz. "Katanya lagi jalan sama Kak Rumi? Kok nelpon-nelpon gue?"

"Iya, gue lagi nungguin Kak Rumi,"

"Dia ke mana emang?"

"Creambath!"

"Hahahahaha!" Syahnaz tertawa terbahak-bahak. Jujur saja, pertama kali Kak Rumi bilang mau creambath pun, aku kaget sekaligus geli ingin tertawa. Jadi wajar jika Syahnaz juga tertawa.

"Serius, Dy?" kata Syahnaz lagi.

"Iya serius,"

"Lu gak ikutan?"

"Gue ditawarin dia, tapi males ah,"

"Kenapa emang?"

Aku berbisik pelan, memelankan suaraku ke Syahnaz. "Rambut gue kutuan,"

"Hahahaha!"

Kali ini aku tersentak, yang tertawa bukan Syahnaz. Aku segera menoleh: Kak Rumi! Ya ampun, dia dengar!

"Udah dulu ya, Naz," segera kumatikan hape dan pura-pura menganggap Kak Rumi tak mendengar omonganku tadi ke Syahnaz.

Tapi, sebodoh-bodohnya aku berpura-pura, Kak Rumi tak berhenti cengar-cengir padaku. Ia mendekatiku sambil mengacak-acak rambutku. "Duh, yang mau melihara kutu,"

Huaaaaaaaaaaaaa!

"Jahat!" kupukul-pukul pundak Kak Rumi dengan semangat. Ingin kupites laki-laki ini! Sungguh!

"Jahat banget sih! Pura-pura gak denger dong!" aku menggerutu.

"Iya, gak denger kok kalo lu kutuan,"

"Gak usah diulang!" kupukul lagi pundaknya yang lebar itu. Ia tertawa.

"Bete ya nungguin gue?"

"Gak bete, tapi kesepian,"

"Sejam aja kesepian?" tanyanya padaku.

Aku mengangguk.

"Kalau tiba-tiba gue ngilang gimana?" kata Kak Rumi sambil menggenggam tanganku dan berjalan keluar dari salon.

"Ya aku cari lah,"

"Cari ke mana?"

"Google,"

"Hahahaha!"

Kugenggam balik jemari Kak Rumi yang lebar. Kusandarkan kepalaku di lengannya yang keras karena tumpukan otot. "Kalau aku yang ngilang?" kataku.

Tiba-tiba Kak Rumi menghentikan langkahnya, genggaman tangannya makin menguat padaku. Ia menatapku dengan serius. "Kamu gak boleh hilang, itu gak boleh,"

Aku mengerti perasaan Kak Rumi. Aku tahu bagaimana menderitanya ia karena kehilangan orang yang begitu ia cintai. Sebuah kehilangan pernah dibayar olehnya dengan sangat mahal dan menyakitkan. Kehilangan membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya, separuh hidupnya mati karena itu.

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang