17. Bintang Terakhir

148 26 0
                                    

17. Bintang Terakhir

"Bagas mana, Naz?" tanyaku ke Syahnaz yang pada jam istirahat ini hanya terlihat tanpa Bagas.

"Sibuk ngurusin seminar! Huh!" Syahnaz menggerutu sambil menghentakkan kakiknya. Kemudian ia sibuk menyalin catatan Biologiku.

Dari bangku samping, kulihat Andien, Rosa, Icha, Dewi, Ana berkerumun membahas gosip-gosip hangat sekolah. Karena tak ada yang kulakukan, telingaku jadi fokus mendengarkan gosip yang mereka bicarakan.

"Ali diem-diem gitu tapi nyalinya tinggi juga ya," kata Andien sambil mengipasi wajahnya dengan jari-jarinya yang lentik. "Masalahnya bukan gue mau nolak dia ya, abis yang gue denger dari anak-anak cowok, Ali kalau abis boker gak pernah disiram,"

Iyuuuh!

Semua tertawa. Andien melanjutkan lagi.

"Lagi juga, ini kan udah 2018, kok masih aja dia pake minyak jelanta di rambut? Hellooooo, hari gini pomade udah banyak yang jual dong!"

"Jadi klimis gitu ya, Ndien, si Ali?" kata Icha cekikikan.

"Tapi Ali baik lho, Ndien. Buktinya dia pernah beliin elu cilok," kata Dewi.

"Sebenernya sih bukan pernah, tapi sering. Gue jadi mabok cilok!" kata Andien.

"Gak mabok Ali?" Rosa meledek.

"Ih apaan si lo?" Andien memukul-mukul pelan tangan Rosa sambil tertawa kecil. Gelagat khas cewek-cewek remaja yang lagi gemes-gemesnya.

Kutebak, Andien suka dengan Ali. Tapi ia malu mendeklarasikan itu. Mungkin karena Ali adalah representasi cowok jadul yang hidup di zaman now, sementara Andien adalah tipikal cewek kekinian yang melek sekali soal trend zaman now.

Tapi yang namanya cinta, Andien tak bisa pungkiri, kan? Hanya gengsi saja yang menjadi tembok pembatas cinta mereka. Hahaha! Enak juga ternyata dengar gosip. Pantas ibu-ibu pengkolan bisa berjam-jam ngegosip di gerobak sayur tiap pagi.

Tanpa sadar, mendengar Andien dan yang lainnya bergosip, aku merasa jalur hidup dan pikiranku telah banyak berubah dari mereka. Dulu, sebelum kenal Kak Rumi, aku juga sering bergosip soal remeh-temeh begitu. Tertawa, curhatin cowok culun, marah, lalu tak pernah kapok bergosip lagi. Kini, aku mulai berubah memahami arti sebuah fase hidup.

Dulu aku remaja. Ya, kemarin aku remaja. Mungkin hari ini aku telah beranjak dewasa. Mulai mencoba meraba arti hidup.

Bukan lagi soal bagaimana melihat seorang laki-laki atau perempuan secara fisik lalu kukomentari, tapi soal bagaimana orang itu menjalankan hidupnya. Bagaimana ia, seperti apa tindak-tanduknya, dan seperti apa pemikirannya.

Kak Rumi tidak pernah mengomentari penampilan ataupun fisikku, tak pernah menjelek-jelekkan Rafi padaku, juga tak pernah pusing dengan nilai-nilaiku yang buruk di sekolah meski ia sangat tahu. Ia tak pernah pusing akan segala hal yang orang lain bicarakan, tak pusing soal perasaan orang lain padaku, baginya aku saja sudah cukup, tak tahu kenapa.

Dari sinilah mungkin aku belajar darinya dalam memahami hidup. Ya, tanpa sadar, Kak Rumi mengajariku bagaimana mencintai seseorang dengan elegan. Menjalankan hidup dengan santai dan berkelas. Tanpa pusing memikirkan hidup orang lain.

Baru kusadari, banyak sekali pelajaran yang kudapat dari Kak Rumi. Seseorang yang kuperlakukan tidak adil. Sungguh, aku menyesal.

Beberapa detik kemudian, Kak Davis mengirim pesan.

"Dy, aku di depan gerbang sekolah. Aku antar kamu pulang,"

Ingin marah, kesal, dan benci membaca pesan dari Kak Davis yang semena-mena ini. Kenapa ia selalu datang di saat justru aku merindukan Kak Rumi?

Zenith [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang