Jati bersimpuh di hadapan sebuah makam. Semarang sedang cerah hari ini. Menjelang sore pun sinar matahari masih saja terasa menggigit. Beruntung, sebatang pohon berdiri kokoh tak jauh dari posisi Jati, yang kerimbunan daunnya cukup untuk menghadirkan keteduhan.
Jati mengelus nisan bertuliskan nama ayahnya setelah selesai menabur bunga.
"Alhamdulillah, hari ini Jati berhasil mengabulkan harapan Ayah. Lamaran Jati diterima di sebuah sekolah swasta. Jati akan berusaha memberikan yang terbaik, agar Tuhan pun senantiasa memberikan yang terbaik. Seperti yang selalu Ayah bilang." Jati tersenyum getir, dengan sedikit genangan bening di sudut matanya.
Delapan bulan sejak ayahnya berpulang karena penyakit lever, Jati berjuang agar tak perlu merapuh lagi. Karena tak ada lagi nasihat dari beliau, ia harus mengingatkan diri sendiri, agar tidak salah langkah, agar tidak mudah terpengaruh oleh gemerlap dunia.
Jati mengayuh sepedanya meninggalkan kawasan pemakaman sambil mengenang saat-saat kebersamaan dengan almarhum ayahnya. Jati berjanji kepada diri sendiri untuk mencontoh beliau, perihal ketekunannya dalam bekerja, juga sikap tak pernah putus asa dalam kondisi seburuk apa pun. Karena itulah ia jadi guru, sesuai harapan beliau.
Memasuki pekarangan rumahnya, Jati langsung tersenyum kepada seorang gadis yang sedang menunggunya di teras.
"Habis dari makam ayahmu, ya?" tebak gadis bernama Kenanga itu setelah melihat kesenduan yang sudah sangat dihafalnya di wajah Jati.
Jati hanya mengangguk lalu duduk bersebelahan.
"Kok, nggak bilang-bilang?"
"Emang nggak direncanain. Mendadak lagi pengin mampir aja." Jati membuka dua kancing atas kemejanya, lalu meluruskan kaki sambil menghela napas panjang.
"Gimana rasanya jadi guru? Capek, ya?"
"Yah, begitulah. Kalau nggak capek bukan kerja namanya," jawab Jati tanpa menoleh. Tatapannya membentur ke langit-langit teras yang plafonnya dihiasi beberapa noda bekas rembesan air hujan.
"Kamu yakin ngajar di sekolah itu?"
Jati mengangguk, masih belum menoleh.
"Padahal aku bisa ngerekomendasiin kamu di yayasan teman papaku. Bayarannya pasti jauh lebih tinggi."
"Hanya orang-orang berpengalaman yang patut direkomendasiin. Pemula macam aku belum pantas di sekolah bertaraf internasional seperti itu. Makanya, untuk sekarang ini aku ngutamain pengalaman, bukan bayaran."
Kenanga menghela napas pasrah. Entah kapan cowok yang berhasil memenjarakan hatinya itu bersedia menyambut semua tawaran baiknya.
"Aku ke sini mau nunjukin ini." Gadis ber-dress selutut itu menyodorkan pamflet.
Jati meraihnya, lalu membacanya dengan seksama sambil manggut-manggut.
"Selain jadi guru, impian lain itu masih ada, kan?"
"Pastinya, dong!" Jati tersenyum lebar. Sesaat ia menoleh ke arah Kenanga, lalu kembali mengamati pamflet di tangannya.
"Oh ya, biar nggak terlalu capek, kamu mau, yah, ganti sepedamu dengan motor." Kenanga melirik sepeda sport warna merah yang terparkir di halaman.
Jati menegakkan punggung. "Justru sepeda itu yang bikin aku tetap bugar. Kalau bukan bersepeda ke mana-mana, aku nggak akan punya waktu khusus untuk berolahraga."
Kenanga tahu, itu hanya alasan. Mungkin Jati masih punya prioritas lain ketimbang mengganti sepedanya dengan motor. Andai tidak takut Jati tersinggung, jangankan motor, mobil pun dibelikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jati dan Cendana
General Fiction"Impianku sesederhana pucuk yang terus tumbuh di bawah rangkulan mentari pagi. Aku hanya ingin berada di samping orang yang kusayangi." --Cendana "Impianku sesederhana hati yang mendadak tentram saat musik mengalun. Aku hanya ingin bahagia maupun se...