Kalau bukan lewat video call segala, Cendana pasti langsung mengangkat telepon Jati. Entah kenapa ia jadi setegang itu menyadari akan berhadapan dengan pemilik senyum manis itu, meski hanya lewat layar ponsel.
Setelah sempat bengong dan bingung harus ngapain, Cendana melompat dari tempat tidur ke depan meja rias. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil beberapa lembar tisu untuk menyeka noda bekas air mata di pipinya. Jati tidak boleh tahu kalau ia habis menangis.
Detik selanjutnya, antara tidak ingin terlihat berantakan dan harus segera menjawab panggilan Jati sebelum berakhir, membuat Cendana gelagapan. Sebelum berhenti berdering, Cendana buru-buru menyambar ponselnya di atas kasur dan langsung mengetuk gambar lingkaran kecil berwarna hijau di sisi kiri, mengabaikan penampilannya yang kini sudah terpampang di layar ponsel Jati. Ia tidak ingin mengabaikan panggilan pertama Jati dan membuatnya salah paham. Lebih parah lagi kalau cowok itu tidak akan menghubunginya lagi.
"Hai!"
Cendana hanya tersenyum lebar ketika Jati menyapanya di seberang sana. Kenapa rasanya lebih mendebarkan ketimbang ngobrol langsung?
"Jangan-jangan aku ganggu. Tadi udah tidur, ya?" Jati berasumsi demikian setelah melihat penampilan Cendana yang memang sedikit berantakan dalam balutan piama biru langit.
"Eh, enggak, kok," Cendana buru-buru menyanggah.
"Terus, kamu lagi ngapain?"
Cendana malah menggeleng. Apa-apaan ini? Bisa, nggak, sih, responsnya lebih bermutu, membuat obrolan itu lebih hidup?
"Aku masih teringat dengan kata-katamu tadi sore. Karena itu, aku menghubungimu untuk ngucapin selamat tidur."
Cendana makin tidak berdaya sekarang. Ia hampir tidak mampu menahan ponsel di tangannya demi tetap melihat wajah Jati di seberang sana.
"Sampai kamu berhasil mendapatkannya dari kedua orangtuamu, untuk sementara biar aku saja yang mengucapkannya."
Cendana menahan napas agar tidak bertingkah konyol.
"Selamat tidur, Cendana. Mimpi indah, ya. Esok kamu harus bangun dengan senyum baru, semangat baru, dan harapan baru."
Cendana benar-benar meleleh sekarang. Jantungnya belum pernah berpacu secepat ini. Seindah inikah cinta? Sebatas ucapan selamat tidur yang dilatarbelakangi senyum manis yang terus mengembang di seberang sana, reaksinya sedemikian dahsyat.
"Ya udah. Tidur, gih. Aku tutup, ya."
Cendana mengangguk, meski hatinya menolak untuk berpisah dengan pemilik manik cokelat pekat di seberang sana.
Gadis berbibir tipis itu meletakkan ponselnya secara asal setelah wajah Jati menghilang. Ia kembali mendaratkan kepalanya di bantal dengan senyum yang semakin lebar. Ia tidak yakin masih bisa tidur setelah ini. Wajah Jati tercetak jelas di langit-langit kamarnya.
***
"Udah selesai ngobrolnya?" Kenanga menyela aksi senyum-senyum sendiri Jati di salah satu sudut ruangan. Dari nadanya, kentara ia tidak suka.
Jati mengangguk seraya berusaha keras meredam senyum yang dengan mudahnya tercetak di luar kehendak.
"Yuk, lanjut lagi. Yang lain udah pada nungguin."
Jati mengantongi ponselnya sebelum bangkit, lalu berjalan santai melewati Kenanga yang sedang bersandar malas di sisi kanan pintu.
Kenanga yakin, gadis itu lagi yang baru saja dihubungi Jati, salah seorang murid yang menemaninya ke toko buku waktu itu, yang membuatnya mengabaikan jadwal latihan. Setelah tidak sengaja mendengar Jati mengucapkan selamat tidur untuk gadis itu, Kenanga merasa perlu bertindak. Bertahun-tahun ia berada di sisi Jati, tapi tak sekali pun cowok itu bersikap semanis tadi padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jati dan Cendana
General Fiction"Impianku sesederhana pucuk yang terus tumbuh di bawah rangkulan mentari pagi. Aku hanya ingin berada di samping orang yang kusayangi." --Cendana "Impianku sesederhana hati yang mendadak tentram saat musik mengalun. Aku hanya ingin bahagia maupun se...