Aneh. Sedari tadi Cendana mengharapkan kemunculan Jati, tapi setelah cowok bersuara berat itu turut mengayuh sepeda tepat di sampingnya, Cendana malah ingin cepat-cepat tiba di sekolah.
"Kamu nggak trauma dengan kejadian kemarin?"
"Saya harus lewat jalan ini pergi-pulang sekolah. Kalau pakai acara trauma, bisa bahaya, Pak." Cendana tertawa ringan, bermaksud meredam kekakuan yang jangan sampai membuatnya kehilangan konsentrasi sepagi ini.
Sepersekian detik Jati takjub. Ini pertama kali ia mendengar tawa gadis itu. Unik, dan bikin nagih. Mungkin karena munculnya jarang.
"Kamu sudah ngerjain PR?" Sebenarnya Jati geli mendengar panggilan "Pak" dari Cendana di luar lingkungan sekolah seperti ini, tapi ia malah mengajukan pertanyaan yang kian menegaskan hubungan mereka sebagai guru dan murid. Diam-diam Jati mengutuk pertanyaan barusan.
Cendana mengangguk dengan kerutan samar di dahinya. Nggak ada pertanyaan lain, apa? Tanpa Cendana sadari, ia mengharapkan obrolan yang lebih intens, yang tidak perlu melibatkan tugas sekolah. Lucu memang. Bukankah Jati mengajukan pertanyaan sewajarnya seorang guru kepada muridnya?
Hanya alam dan penciptanya yang tahu, bahwa dua orang yang tengah beriringan mengayuh sepeda itu punya keinginan saling mengenal lebih jauh. Namun mereka masih bingung untuk memulainya.
Cendana tiba-tiba menarik rem sepedanya.
"Ada apa?" Jati refleks ikut-ikutan.
Setelah menepikan sepedanya, Cendana turun untuk memungut anak kucing yang tampak kebingungan di tengah jalan. Ia membawanya ke emperan toko. Melihat pemandangan itu, jadi tersenyum kagum. Di matanya, cewek yang punya kepedulian tinggi terhadap hal-hal kecil, selalu tampak seksi.
Cendana menepuk-nepuk tangannya saat berjalan kembali menuju sepedanya.
"Kamu perhatian banget, ya," sambut Jati.
"Saya tahu rasanya diabaikan. Sakit. Pasti hal itu juga yang dirasakan kucing tadi kalau kita melewatinya begitu saja. Untung-untung kalau nggak kelindas ban kendaraan lain."
Jati menangkap nada sumbang di kalimat barusan. Cendana seolah menyuarakan apa yang ia alami selama ini.
"Kamu emang penyayang binatang, ya?" tanya Jati saat sepeda mereka mulai melaju.
"Nggak juga. Tapi saya nggak akan tinggal diam melihat apa pun dalam bahaya."
Entah kenapa, Jati merasa ucapan Cendana selalu mengarah ke hal lain.
"Kalau boleh minta satu mukjizat pada Tuhan, saya ingin seperti Nabi Sulaiman yang bisa bicara dengan binatang."
"Kenapa?" Jati mengernyit.
"Pasti seru. Saya penasaran bagaimana perasaan anjing yang kerap dilempari tanpa salah apa pun. Atau kucing tadi yang sepertinya baru dibuang oleh seseorang."
Jati mengabaikan jalanan di depannya, memilih menatap wajah Cendana dalam-dalam. Makin ke sini gadis itu punya sisi unik yang selalu berhasil memancing rasa ingin kenal lebih jauh.
"Kalau Bapak?"
Pertanyaan Cendana menyadarkan Jati setelah melamun beberapa jenak. "Kenapa?"
"Mukjizat apa yang Bapak inginkan?"
"Mukjizat?" Jati pura-pura mikir. "Em ... aku pengin bisa mengendalikan pikiran, biar kamu nggak terus-terusan manggil aku "Pak" di luar lingkungan sekolah seperti ini."
Cendana melirik Jati yang sedang tersenyum jail, lalu mempercepat laju sepedanya.
"Eh, tungguin!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jati dan Cendana
General Fiction"Impianku sesederhana pucuk yang terus tumbuh di bawah rangkulan mentari pagi. Aku hanya ingin berada di samping orang yang kusayangi." --Cendana "Impianku sesederhana hati yang mendadak tentram saat musik mengalun. Aku hanya ingin bahagia maupun se...