7 - Apakah Ini Rindu?

2.1K 313 23
                                    

Saat jam pulang, Jati lebih dulu tiba di parkiran. Seperti biasa, ia memasang senyum terbaik menyambut kedatangan Cendana. Gadis itu tentu saja tidak menolak ketika Jati mengajaknya ke suatu tempat, meski tanpa anggukan tegas. Ia hanya mengikuti ke mana cowok itu mengarahkan setang sepedanya. Cendana tak pernah mengira Jati akan membawanya ke sini, di sebuah TPU yang teramat sepi di siang menjelang sore seperti ini.

Langkah pelan mereka terhenti di depan sebuah makam. Jati membersihkan area di sekitarnya sebelum bersimpuh. Ia juga melakukannya untuk Cendana. Beberapa jenak hening. Tangan Jati tergerak mengelus nisan di depannya. Cendana mengamati wajah Jati yang menyendu.

"Semasa hidup, Ayah tipe orang yang sangat mencintai pekerjaannya. Ayah selalu bilang, bahwa apa yang kita rasakan hari ini, adalah apa yang kita mulai beberapa tahun yang lalu." Jati menghela napas panjang, menghalau getar yang mulai mengacaukan intonasi suaranya. "Katanya, hidup itu seperti kepingan puzzle, yang pada akhirnya akan menyatu, terlepas selama apa waktu yang dibutuhkan. Pun, entah ada bagian yang rusak atau tidak. Bahkan hilang." Jati menoleh ke arah Cendana, menatap tepat di manik matanya. "Ayah orang yang sangat tegar, Dana. Ia tidak pernah terlihat takut terhadap masalah yang silih berganti. Katanya, ada Tuhan tempat kita memohon. Buruk di mata kita, belum tentu di mata-Nya."

Cendana terenyuh melihat sepasang mata cowok di depannya berkaca-kaca.

"Apa yang lebih luar biasa dari membuat seseorang menjadi paham akan sesuatu yang sama sekali tidak dimengerti sebelumnya? Begitu jawaban Ayah saat saya tanya alasannya memilih jadi guru."

Cendana jadi teringat dengan pertanyaannya sendiri. "Karena itu juga, Bapak memilih jadi guru?"

Jati mengangguk. "Jadilah guru, sebab hanya ilmu yang justru terus bertambah setelah dibagikan setiap hari. Kata-kata Ayah ini masih terngiang sampai sekarang."

Entah harus seperti apa Cendana merspons. Cukup sampai di sini, ia sudah bisa merasakan ikatan emosional antara ayah dan anak. Tidak seperti yang terjadi padanya. Di balik kesenduan itu, Cendana merasa takjub kerana Jati memilihnya. Tentu tidak sembarang orang yang diajaknya ke sini dan disuguhi bahasa hati sedalam tadi.

"Bapak pasti sangat merindukan beliau."

Jati mengangguk samar. "Kerinduan yang kini hanya bisa diobati oleh petuah-petuah beliau. Sampai detik ini, saya masih bisa merasakan kehadiran beliau di sini." Jati menunjuk dadanya.

"Terima kasih, Pak, karena sudah mengajak saya ke sini. Saya jadi sadar, bahwa hubungan orangtua dan anak pun bisa sedemikian harmonis, nggak sehambar yang saya rasakan."

Kerutan halus muncul di kening Jati mendengar kalimat barusan. Ia memasang perhatian penuh untuk apa-apa yang akan dikatakan Cendana selanjutnya. Gadis itu tampak ingin berbagi.

"Kedua orangtua saya memang masih ada, Pak, tapi nggak pernah benar-benar ada. Semua kebutuhan saya dipenuhi, tapi tidak untuk hal-hal tak kasat mata. Saya butuh belaian, tatapan, atau sekadar ucapan selamat pagi dan selamat tidur."

Tangan Jati tergerak mengelus punggung Cendana.

"Semua itu bisa dibangun dari awal. Saya yakin, kamu bisa. Yang penting kamu mau bicara pada mereka. Utarakan apa yang kamu mau. Jangan malah cuek dan membiarkannya berlarut-larut."

Makin ke sini, Cendana makin tidak bisa mengendalikan perasaannya terhadap Jati. Cowok itu begitu mudah menyelinap ke ruang yang tak pernah berhasil ditembus oleh siapa pun selama ini. Pacaran dengan guru sendiri sepertinya tidak terlalu buruk. Diam-diam Cendana mulai membangun paradigma itu dalam benaknya.

***

Cendana punya kebiasaan mengerjakan PR di meja makan yang bersebelahan dengan dapur, sambil menemani Bibi menyiapkan makan malam. Biasanya mereka akan mengobrolkan apa saja, momen yang sebenarnya sangat ingin Cendana lalui bersama Mama atau Papa.

Jati dan CendanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang